Rabu, 12 November 2008


Soekarwo-Saifullah Menang
Khofifah-Mudjiono Ajukan Gugatan ke Mahkamah Konstitusi




KOMPAS/RADITYA HELABUMI / Kompas Images
Calon gubernur Jawa Timur, Soekarwo, disambut pendukungnya di Posko Karsa seusai KPU Provinsi Jawa Timur melakukan rekapitulasi penghitungan suara Pilkada Jatim putaran kedua di Hotel Mercure Grand Mirama, Surabaya, Selasa (11/11). Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) memenangi Pilkada Jatim dengan perolehan 50,2 persen suara.

Rabu, 12 November 2008 | 03:00 WIB


Surabaya, Kompas - Di bawah penjagaan ketat aparat keamanan, Selasa (11/11), penghitungan resmi Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur putaran kedua oleh Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur menunjukkan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf keluar sebagai pemenang.

Pasangan itu unggul tipis 60.223 suara dari pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji).

Soekarwo berterima kasih atas kepercayaan yang diberikan warga Jatim. Ia berjanji mewujudkan rasa terima kasih dan syukur lewat pengabdian lima tahun ke depan. ”Tidak usah melihat masa lalu. Mari bersama-sama melangkah untuk masa depan Jatim yang lebih baik,” ujarnya.

Ia juga meminta para pendukungnya agar menahan diri dan tidak merayakan kemenangan dengan cara berlebihan. ”Jangan menyinggung pihak lain. Meski mendukung calon berbeda, semua rakyat Jatim harus diajak bersama membangun Jatim,” ujarnya, Selasa.

Dalam penghitungan suara di Hotel Mercure Surabaya, Selasa, KPU Jatim menghitung ada 15.399.665 suara sah. Dari jumlah itu, 7.729.944 suara diraih Soekarwo-Saifullah (Karsa) dan 7.669.721 suara diraih pasangan Kaji, sementara 506.343 suara dinyatakan tidak sah.

”Kalau tidak ada gugatan, KPU akan mengadakan pleno untuk menetapkan pemenang pada 15 November 2008. Kalau ada gugatan, penetapan menunggu proses pengadilan,” ujar Ketua KPU Jatim Wahyudi Purnomo.

Dalam penghitungan kemarin, tim pemenangan Kaji berkali-kali menginterupsi. Interupsi pertama disampaikan sebelum Wahyudi membuka rapat pleno terbuka untuk penghitungan suara. ”Kami meminta pleno ini ditunda sampai protes Kaji dijawab secara resmi oleh KPU,” ujar Sekretaris Tim Pemenangan Kaji M Mirdasy.

Kaji melayangkan protes pada 8 November lalu. Dalam protes itu, Kaji antara lain meminta pemungutan suara ulang di empat kabupaten di Madura, penghentian penghitungan di beberapa kabupaten/kota, dan penghitungan ulang di beberapa kabupaten/kota. ”Kami memiliki bukti indikasi kecurangan yang merugikan Kaji,” ujarnya.

Gugat ke MK

Wahyudi mengatakan, jawaban resmi harus dibahas dalam rapat pleno dan KPU Jatim belum mengagendakannya. ”Keberatan-keberatan akan dicatat dalam berita acara penghitungan ini,” ujarnya.

Merasa keberatan mereka tak ditanggapi, tim Kaji menolak menandatangani berita acara penghitungan suara di tingkat provinsi. Kaji memastikan akan menggugat penghitungan itu ke Mahkamah Konstitusi.

Anggota Panwas Pilgub Jatim, Abdullah Bufteim, mengatakan, sebagian besar berita acara penghitungan di kabupaten/kota tidak mencantumkan keberatan. Menurut undang-undang, keberatan dianggap tidak ada atau tidak bisa diprotes jika tak dimasukkan dalam berita acara penghitungan.

Ia mengungkapkan, Panwas memang mendapatkan banyak laporan pelanggaran. Laporan itu sudah diteruskan kepada KPU dan kepolisian yang berwenang mengeksekusi sanksi kepada pelanggar. ”Panwas tidak punya hak mengeksekusi,” tuturnya.

Dalam konferensi pers yang dihadiri, antara lain, calon wakil gubernur Mudjiono, Ketua DPW PDI-P Sirmadji, Ketua DPW Partai Patriot La Nyalla Mattalitti, dan Ketua Umum PKNU Choirul Anam, Khofifah menegaskan gugatan sengketa pilkada kepada MK.

”Anggota tim kami sudah berangkat ke Jakarta tadi pagi (Senin, 10/11) menuju kantor Mahkamah Konstitusi. Tim tersebut juga membawa bukti-bukti yang menjadi dasar gugatan kami ke MK,” ujar Khofifah.

Berdasarkan catatan tim Kaji, kecurangan tersebut berupa penghitungan suara yang tidak dihitung secara prosedural. Kecurangan itu terjadi di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang tidak menghitung suara di setiap tempat pemungutan suara, tetapi penghitungan dilakukan di setiap desa.

”Kami juga memiliki bukti foto pembukaan kotak suara di tengah jalan dari TPS menuju PPK,” ucap Khofifah sambil meminta pengulangan pemungutan suara di Kabupaten Sumenep, Pamekasan, dan Sampang, Madura, yang menurut tim Kaji terjadi banyak kecurangan.

Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum kemarin berharap semua pihak menghormati hasil rekapitulasi resmi Pilkada Jatim. Sebab, siapa pun pemenangnya merupakan pilihan dan simbol kemenangan warga Jatim. ”Kami yakin warga Jatim cukup cerdas, dewasa, dan tak suka berkonflik,” katanya. (RAZ/APO/DEE/NWO)

Rabu, 22 Oktober 2008

Zubair Goo0dWill Watua PP Muhammadiyah Dukung Mega Hidayat


JAKARTA, RABU - Keinginan untuk menduetkan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dengan Ketua MPR Hidayat Nurwahid, kini mulai dihembuskan. Wacana ini digagas oleh Direktur Pro Mega Center Mochtar Muhammad, Selasa (21/10) kemarin.

Rencana menduetkan dua tokoh karismatik dari kalangan nasionalis--religius ini, mendapat dukungan dari salah seorang ulama Muhammadiyah, yang tak lain Wakil Ketua PP Muhammadiyah, Goodwil Zubair.

Zubair menyatakan bila Megawati dan Hidayat Nurwahid bisa disandingkan pada Pilpres 2009 nanti, diyakini bisa meraup suara signifikan. Keduanya sama-sama memiliki Partai Politik yang kuat.

"Sangat luar biasa bila mereka bersatu. Saya acungkan jempol wacana yang digagas ini Pak Mochtar. Saya yakin, Koalisi kebangsaan ini bisa pilih tanding di Pemilu 2009. Kita perlu sosok Ibu Mega dan Pak Hidayat. Keduanya sudah dikenal luas di akar rumput," kata Zubair kepada para wartawan kemarin.

Zubair juga meyakini, duet Mega-Hidayat bisa menyelesaikan persoalan bangsa dan krisis berkepanjangan yang dihadapi bangsa Indonesia. Zubair kemudian menyarankan agar PDIP dan PKS segera menjalin komitmen, membicarakan untuk melakukan koalisi sejak dini.

"Masyarakat di akar rumput respect terhadap keduanya. Apalagi, pak Hidayat itu orang Muhammadiyah juga. Jadi, kenapa kita tak memberikan restu," katanya.

Direkter Pro Mega Center, Mochtar Mohammad menjelaskan wacana Mega-Hidayat menguat di PDIP. Bisa saja, dikemudian hari duet ini bisa menjadi kenyataan.

"Siapa bilang kita tak bisa bersatu dengan PKS? Kami, di PDIP akan menggarap kalangan menengah bawah sementara PKS yang garap kalangan menengah ke atas. Bila duet ini menjadi kenyataan, koalisi PDIP--PKS saya yakin akan menang dalam Pemilu," kata Mochtar.

Berbagai survey yang dilakukan, jelasnya, Megawati-Hidayat Nurwahid menjadi kandidat capres dan cawapres layak jual. Kini, kata Mochtar, hanya tinggal menunggu keputusan DPP PDIP, dengan siapa Megawati akan disandingkan.

"Bagi saya, keduanya (Mega-Hidayat) juga sama-sama punya modal sosial serta politik yang besar. Dan saya yakin Mega- Hidayat bisa mengalahkan duet SBY-JK seandainya mereka kembali berduer," ujarnya.

Pro Mega Center, kini sedang mematangkan duet Mega-Hidayat. Termasuk, lobi-lobi dengan para petinggi DPP PDIP untuk bersama melakukan lobi politik agar duet itu biasa terealisasi dalam Pilpres 2009 mendatang.

Menurut sumber yang berhasil dihimpun, baik kalangan PDIP dan PKS sudah saling melakukan lobi politik. Kedua kubu itu intensif untuk melakukan pertemuan, terutama untuk menggolkan duet Mega Hidayat.

Ketua DPP PKS Zulkifliemansyah saat dikonfirmasi wartawan tidak membantah kemungkinan Mega berduet dengan Hidayat Nurwahid.

"Meski keputusan majelis syuro partai yang menyatakan PKS baru bicara soal capres usai legislatif, namun duet Mega-Hidayat sudah menjadi gagasan. Yang jelas, dalam membangun sebuah koalisi itu, dalam dunia politik itu bisa saja terjadi dan dengan siapapun. Apalagi PKS juga mengusung sebuah koalisi kebangsaan,” katanya.

Akankah rencana B, seperti yang diungkap Ketua Dewan Pertimbangan Partai Taufik Kiemas, melakukan koalisi merah-putih ini akan terwujud?

Minggu, 12 Oktober 2008

Pilkada dalam Bahaya?

“Pemerintah diharapkan dapat menjaga situasi daerah tetap kondusif,” ujar Penjabat (Pj) Bupati Gunungkidul Ir Djoko Budhi Sulistyo kepada Antara awal April lalu. Apa yang diungkapkan Djoko setidaknya bisa memberi gambaran sekaligus kekhawatiran terhadap situasi politik daerah akhir-akhir ini.

Memang, gairah politik tingkat lokal semakin memanas mendekati bulan Juni nanti. Saat itu, Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) langsung dijadwalkan akan mulai diselenggarakan di Indonesia. Seperti telah kita ketahui, ekperimentasi demokrasi di level daerah ini mulai mendapatkan legitimasi semenjak lahirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada pengujung September 2004 lalu. Undang-undang tersebut lahir sebagai revisi atas UU Pemerintah Daerah sebelumnya (UU No. 22/1999). Pada pasal 24 UU No 32/2004 tersebut dinyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah diharuskan dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.

Selanjutnya pada Pasal 233 Ketentuan Peralihan disebutkan bahwa untuk daerah yang kepala daerahnya mengakhiri masa jabatan pada tahun 2004 sampai Juni 2005, pelaksanaan Pilkada akan diselenggarakan secara langsung pada Juni 2005.

Dengan hadirnya naskah UU Pemda yang baru ini, sebanyak 173 kabupaten/kota dan 8 provinsi harus bersiap menghadapi pilkada langsung pada Juni 2005. Sepanjang tahun 2005 sendiri, termasuk yang mengadakan pilkada bulan Juni, ada 11 provinsi dan 215 kabupaten/kota yang harus mengadakan pilkada secara langsung.

Kendala Subtantif dan Teknis


Persoalan yang saat ini muncul dalam wacana politik pilkada adalah kekhawatiran atas gagalnya penyelenggaraan pilkada langsung untuk bulan Juni 2005. Mengikuti Ray Rangkuti dalam tulisannya di Koran Tempo, 6 April 2005, setidaknya ada dua kendala besar yang siap mengganjal pelaksanaan pilkada Juni 2005, yaitu kendala subtantif dan kendala teknis.

Pertama, kendala subtantif. Kendala subtantif utama adalah perangkat peraturan pelaksanaan pemilihan yang belum sepenuhnya tersedia. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap salah satu pasal dalam UU No32/2004 mengubah subtansi pilkada. Perubahan itu berupa hilangnya wewenang DPRD dalam pilkada dan diperkenankannya partai politik tanpa kursi di DPRD mencalonkan calon pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Perubahan ini membawa dampak bagi PP No.6/2005 dan SK KPUD yang berkenaan dengan tata pendaftaran pasangan calon. Jika tidak segera direvisi, maka PP N06/2005 ini tidak dapat diberlakukan karena legitimasinya lemah.

Kedua, kendala teknis. Ada banyak kendala teknis pilkada Juni nanti. Yang utama adalah masalah dana. UU No. 32/2004 mengatakan bahwa pendanaan pilkada yang dilaksanakan tahun 2005 dibebankan pada APBN dan APBD. Estimasi kebutuhan dana Pilkada 2005 mencapai Rp 1,255 triliun. Itu belum termasuk dana khusus untuk daerah pemekaran yang mencapai Rp 116,428 miliar. Selain itu, pemerintah pusat sendiri juga masih menyerap dana sebesar Rp 185,269 miliar untuk kegiatan dukungan fasilitasi pilkada. Dari semua kebutuhan itu, dana pilkada yang harus ditanggungkan pada APBN diperkirakan mencapai Rp 929,568 miliar.

Namun, menjelang Juni 2005, mayoritas daerah belum mengantungi dana. Janji pemerintah mengucurkan Rp 400 juta pun tak kunjung tersalurkan ke rekening KPUD-KPUD di daerah. Juga di sebagian daerah, dana APBD belum sampai ke KPUD. Padahal KPUD adalah penyelenggara sah pilkada menurut undang-undang.

Dengan mepetnya waktu persiapan pilkada, belum tersedianya dana akan mengakibatkan pembelanjaan logistik tidak berjalan. Padahal dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk mencetak kartu pemilih, formulir, surat suara, dan pembentukan KPPS, PPS, dan PPK. Sebagai pengandaian saja, untuk mencetak dan mendistribusikan surat suara, normalnya dibutuhkan waktu 30 hari. Waktu 30 hari itu sudah dihitung di luar waktu pelaksanaan tender. Maka, jika dana tidak segera cair, pelaksanaan pilkada akan sangat terganggu, bahkan terancam batal. Kondisi ini terutama membayangi daerah-daerah miskin yang APBD-nya rendah.

Ray Rangkuti juga menjelaskan bahwa kendala teknis makin bertambah dengan adanya tuntutan di beberapa daerah, di mana masyarakat dan partai politik mendesak KPUD memperpanjang jadwal pendaftaran pasangan calon. Ini terjadi terutama setelah dikabulkannya gugatan ke Mahkamah Konstitusi soal pencalonan pasangan. Hal itu memang konsekuensi dibatalkannya Ayat 1 Pasal 59 UU No 32/2004 itu oleh Mahkamah Konstitusi. Namun, diperpanjangnya pendaftaran pasangan calon tidak hanya mengubah peta politik daerah, tetapi sekaligus juga semakin membuat mulurnya beberapa tahapan pilkada.

Persoalan lain yang juga sangat penting adalah sosialisasi pilkada. Sejauh ini masih banyak daerah yang program sosialisasinya masih terhambat dan tidak tepat sasaran. Hal ini membuat pelaksanaan pilkada sangat terganggu. Masyarakat, selaku pemilih, seharusnya mendapat informasi yang benar tentang persiapan dan pelaksanaan pilkada di daerahnya. Termasuk, informasi mencatatkan dirinya sebagai pemilih melalui kartu pemilih.

Kualitas Demokrasi di Daerah Akan Rendah?



Meski berbagai kendala menghadang, pemerintah tetap bersikukuh untuk melaksanakan pilkada sesuai jadwalnya. Pemerintah juga tak khawatir soal pendanaan pilkada. Mendagri Moh Ma’ruf mengatakan bahwa pemerintah bisa menggunakan dana darurat seperti yang diatur dalam UU 17/2003 tentang Keuangan Negara. Argumentasi ini sebenarnya lemah karena dana darurat dalam UU tersebut tidak pernah menyebutkan pemilihan umum sebagai kondisi darurat.

Desk Pusat Pilkada, organ yang dibentuk Mendagri untuk memonitoring pilkada, sejauh ini mengklaim hanya 28 kabupaten/kota yang belum siap menggelar pilkada bulan Juni. Namun, sampai minggu pertama April ini juga, dari 145 kabupaten/kota yang menyatakan siap itu, baru 13 daerah yang sudah membuka pendaftaran calon pasangan. Adapun soal dana, baru 69 kabupaten/kota yang sudah mengesahkan APBD untuk pilkada. Gambaran ini menunjukkan bahwa dalam jangka waktu dua bulan yang tersisa, masih banyak daerah yang sesungguhnya belum terlalu siap menyelenggarakan pilkada akibat mepetnya waktu persiapan.

Karena itu, pelaksanaan pilkada yang dipaksakan sesuai jadwal, meski dalam persiapan yang amburadul, akan tetap menimbulkan risiko-risiko tertentu. Salah satu risiko yang paling harus diwaspadai adalah terjadinya konflik politik lokal di luar aturan perangkat hukum yang ada. Hal ini bisa terjadi sebagai konsekuensi logis tidak siapnya struktur penyelenggaraan pilkada. Jika ini terjadi maka eksperimentasi demokrasi tingkat lokal akan mengalami kegagalan.

Di samping itu, carut marutnya persiapan serta perangkat dan peraturan pilkada juga bisa menyebabkan terbukanya peluang mencederai demokrasi. Soal ini kita perlu menyebut politik uang. Politik uang yang seharusnya dihapus dalam proses demokrasi daerah akan muncul lagi seandainya masyarakat tidak banyak menerima informasi soal tahap dan perkembangan pelaksanaan pilkada di daerahnya. Terutama jika masyarakat tidak tahu soal peta politik yang ada dalam pilkada itu.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pilkada akan segera muncul jika pilkada hanya menimbulkan konflik baru yang berlarut-larut. Indra J Piliang, pengamat politik dari CSIS, dalam sebuah tulisannya di Kompas, 29 Maret 2005, bahkan mencurigai pemerintah melaksanakan pilkada hanya untuk dirinya, bukan untuk masyarakat di daerah. “Penyederhanaan persoalan pilkada ini oleh pemerintah menunjukkan kepercayaan diri yang besar, sementara sampai hari ini pun sosialisasi UU No. 32/2004 belum sampai ke tengah-tengah masyarakat. Kalau sudah demikian, pilkada secara langsung sebetulnya untuk siapa? Yang jelas, masyarakat tetap akan menjadi obyek politik dari agenda-agenda yang disusun secara elitis di Jakarta. Pilkada langsung yang diselenggarakan secara terburu-buru, secepat mungkin, adalah bentuk baru dari mobilisasi politik hiruk-pikuk yang sudah menjadi ciri khas dari elite politik dan pemerintahan Indonesia....” tulisnya.

Melihat peta persoalan seperti itu, bisa dikatakan pelaksanaan pilkada yang paling dekat, yaitu pilkada Juni 2005, berada dalam bahaya jika terus dipaksakan. Ini karena carut-marutnya persiapan dan pelaksanaan pilkada. Selebihnya, dengan persiapan semacam itu, kemungkinan besar akan memunculkan proses dan hasil pilkada yang kualitasnya rendah.

Sabtu, 26 Juli 2008

Pilkada Jatim (7)

"Kera Ngalam Ojo Melok Golput"
Jumat, 25 Juli 2008 | 01:43 WIB 

Oleh M PUTERI ROSALINA

”Ojok melok golput lho ker… tapi yo ojo gegerane” (jangan ikut golput dan jangan menimbulkan keributan). Kata-kata itu bukan iklan layanan masyarakat dari KPU Kota Malang, melainkan kalimat seruan tertulis pada baliho besar di Alun-Alun Bunder Kota Malang.

Bagi orang luar Malang, ketika membaca kalimat itu akan berkerut kulit dahinya dan bertanya-tanya, apa maksud kata ”ker”. Kata ”ker” ini terlihat unik dan khas dibandingkan dengan kata-kata lain dalam bahasa Jawa. Ternyata masyarakat Malang mengartikan ”ker” sebagai ”rek” yang dieja terbalik. Rek merupakan kependekan dari arek yang sering dibalik menjadi ”kera”. Lengkapnya, ”kera ngalam” pun berarti formal ”arek Malang” alias anak Malang bukan ”kera” Malang.

Itulah gaya bahasa walikan sebagai salah satu ciri khas budaya Kota Malang. Bahasa walikan atau ”bahasa terbalik” merupakan salah satu bahasa rakyat yang menurut Ayu Sutarto dalam buku Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan Provinsi Jawa Timur, termasuk produk kebudayaan folklor lisan. Selain di Malang, bahasa rakyat Jatim lainnya adalah logat, julukan, sindiran, bahasa rahasia, wadanan (olok-olok), dialek, dan makian khas dialek Surabaya.

Kawasan Malang tidak hanya dikenal dengan bahasa walikan-nya. Malang juga identik dengan kata arek. Istilah arek berkaitan dengan budaya arek sebagai bagian subkewilayahan sosiokultural Jawa Timur. M Dwi Cahyono, dosen Universitas Negeri Malang, menyebutkan, lingkup wilayah budaya arek merupakan eks Karesidenan Malang yang melingkupi Kabupaten dan Kota Malang, Kota Batu, serta sebagian Kabupaten Lumajang dan Pasuruan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Malang.

Aremania dan "arek-arek"

Ketika ditelurusi lebih jauh, budaya arek yang melatarbelakangi budaya di kawasan Malang Raya lahir dari perpaduan berbagai aliran budaya: Hindu, Budha, Islam, Mataraman, Kristen, dan kolonial. Perpaduan budaya tersebut, menurut cerpenis Malang, Ratna Indraswari Ibrahim, membuat orang Malang lebih egaliter, terbuka, toleransi, dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Keterbukaan sikap masyarakat arek semakin terlihat setelah Kota Malang berkembang menjadi kota pendidikan, pariwisata, peristirahatan, dan militer. Pendatang yang berprofesi sebagai pelajar, karyawan, dan pedagang menambah keragaman budaya di wilayah yang dilintasi Sungai Brantas itu.

Pendatang dan penduduk asli berbaur dan membentuk komunitas, seperti komunitas budaya, hobi, dan forum diskusi. Dari komunitas-komunitas itu terbentuklah budaya khas arek Malang. Matasan, yang pernah menjadi koordinator suporter klub sepak bola Arema, menyebutkan, keberadaan arek Malang tidak bisa disamakan dengan keberadaan arek Surabaya. ”Rasa solidaritas yang tinggi inilah yang membedakan dengan arek Surabaya atau arek Jombang,” ujar Matasan.

Aremania atau Arema mania pun menjadi satu komunitas terkenal, bahkan menjadi ikon baru Malang menggantikan musik rock. Aremania sebagai suporter sepak bola dikatakan lahir dari sekumpulan pendukung klub Arema. Aremania inilah menurut Matasan digunakan sebagai tali pemersatu geng anak muda yang banyak berkembang di Malang.

Aremania berusaha menciptakan kreativitas baru yang unik dalam mendukung klub Arema. Salah satunya adalah mempertahankan tradisi untuk berbicara dalam bahasa walikan. Keunikan Aremania inilah juga menjadi salah satu bukti arek Malang tidak mau disamakan dengan arek wilayah lainnya.

"Ojo melok golput"

Sikap egaliter masyarakat Malang, menurut Ratna Indraswari Ibrahim, dianggap mampu meredam konflik pada Pilgub Jatim dan Pilwali Malang. Memang ada beberapa komunitas masyarakat bersikap mendukung salah satu calon gubernur atau wali kota. Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari, kerumunan warga itu tidak membuat sekat-sekat eksklusivisme.

Tidak adanya konflik di kalangan arek Malang selama prapelaksanaan Pilkada Jawa Timur, bisa dikaitkan dengan salah satu sifat arek yang mau mendengarkan orang lain. Ayu Sutarto menyebutkan komunitas arek mempunyai sesanti yok apa enake, yakni keinginan menyelesaikan segala macam persoalan melalui upaya suka sama suka atau win-win solution.

Hal tersebut patut diperhatikan, siapa pun gubernur Jawa Timur yang terpilih nanti untuk mengatur arek Malang. Agar masyarakat berkultur egaliter tidak akan mengenal ”gap” antara pimpinan dan masyarakat. Arek Malang akan terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan kepada pemimpin. Sebaliknya, jika gubernur terpilih mempunyai kepemimpinan yang baik, mereka tidak akan malu-malu menunjukkan pujiannya.

Sayangnya, kelima calon gubernur Jatim itu, selama masa menjelang pencoblosan gubernur Jatim, rasanya kurang menyentuh kultur arek Malang yang unik. ”Calon gubernur Jatim jarang yang melakukan kampanye besar-besaran di Malang,” kata beberapa mahasiswa di Malang. Hal inilah menurut Ratna Indraswari Ibrahim yang membuat masyarakat Malang menjadi apatis, tidak peduli terhadap Pemilihan Gubernur Jatim.

Masyarakat Malang bebas untuk menentukan pilihannya sendiri terhadap calon pimpinan Jatim dan Kota Malang. Bahkan, secara terang-terangan mereka berani menyatakan untuk tidak memilih alias golput. "Lah apa rek, calone elek-elek," kata seorang sopir angkot. Kalau sudah begitu, KPU Kota Malang tepatnya mengeluarkan slogan tegas sebelum putaran kedua nanti: ”Ojok melok golput loh ker...!”

(M PUTERI ROSALINA /LitbangKompas)
   


Pilkada Jatim (6)

Unjuk Pamor di Pandalungan dan Madura
Jumat, 25 Juli 2008 | 01:44 WIB 

Oleh Yohan Wahyu

Pandalungan, yang arti aslinya "periuk besar", sebagai bagian ”tlatah” atau geokultural terbesar di Jatim banyak dihuni dua etnis mayoritas, Jawa dan Madura. Pandalungan pun bermakna masyarakat hibrida atau masyarakat berbudaya baru akibat terjadinya percampuran dua budaya dominan itu. Di kawasan luas itu mengakar sekali pengaruh Islam dan Jawa. (Ayu Sutarto, 2006)

Pandalungan yang berarti "periuk besar" dari bahasa Jawa "dhalung" bermakna sebagai pertemuannya budaya sawah dengan budaya tegal. Tidak heran jika masyarakat di sana berciri agraris-egaliter, bekerja keras, agresif, ekspansif, dan memiliki solidaritas yang tinggi.

ementara itu, dalam pola kepemimpinan, masyarakat Pandalungan masih menempatkan pemimpin agama Islam sebagai tokoh sentral. Tak pelak, di wilayah ini tokoh kiai masih kuat menjadi figur panutan. Peran kiai tidak hanya secara sosiologis, tetapi juga politis. Beberapa tokoh agama berpengaruh berada di wilayah Pandalungan seluas 14.454 kilometer persegi (31,1 persen dari luas Jatim), meliputi wilayah Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Lumajang, dan Jember.

Bersama wilayah Pandalungan, wilayah Madura juga masuk dalam kategori wilayah tapal kuda. Madura sendiri merupakan komunitas budaya terbesar ketiga di Jatim setelah Mataraman dan Pandalungan. Karakteristik kultur warganya pun berbeda dengan masyarakat di tlatah Mataraman. Kondisi lingkungan dan geografis di lahan kering turut membentuk budaya yang berbeda dengan budaya Jawa yang lahannya relatif subur.

Keberadaan Pandalungan plus Madura menjadikan sentimen politik di dua wilayah ini tidak lepas dari sentimen politik pesisir utara Jatim yang banyak didominasi oleh warna politik Islam. Representasi politik tersebut berada pada Partai Kebangkitan Bangsa yang menjadi partai politik dominan di dua wilayah itu.

Bagaimana dengan pertarungan di dua wilayah ini pada Pilkada Jatim? Hasil survei pascapencoblosan (exit poll) Litbang Kompas pada 23 Juli menyebutkan, wilayah Pandalungan dan Madura menjadi medan pertarungan antara figur NU Khofifah dan Saifullah Yusuf. Bersama pasangannya, dua kader NU ini meraih dukungan terbesar di dua wilayah yang mengantongi 34,2 persen jumlah pemilih di Pilkada Jatim ini, dibandingkan dengan tokoh NU lainnya, seperti Ali Maschan Moesa.

Kondisi itu terbukti, Saifullah dan Khofifah yang gagal main di putaran pertama, tetapi dibolehkan ikut di putaran kedua di Pilkada Jatim setelah Idul Fitri nanti, rupanya memperoleh berkah suara dari Pandalungan plus Madura.

Survei menyebutkan, di wilayah Pandalungan, pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) dan pasangan Khofifah-Mudjiono (Kaji) meraih suara terbesar, masing-masing 30,8 persen dan 32,3 persen. Hal yang sama terjadi di wilayah Madura, kedua pasangan calon ini juga meraih suara paling banyak dibandingkan dengan tiga pasangan lainnya.

Hal ini tentu tidak lepas dari figur kedua kader NU ini. Khofifah yang juga tercatat sebagai Ketua PP Muslimat NU dan Saifullah yang menjabat Ketua Ansor, diakui atau tidak, menjadi kendaraan bagi keduanya untuk mengakar ke bawah dibandingkan dengan calon-calon berlatar belakang NU lainnya. Di putaran berikut, siapa pun harus ada yang menang dan kalah. Satu menang, satu kalah.

(Yohan Wahyu/Litbang Kompas)

Pilkada Jatim (5)

Sekondan Bukan Seken Komandan 
J I T ET / Kompas Images 

Jumat, 25 Juli 2008 | 03:00 WIB 

Oleh GIANIE

Posisi wakil sebut saja dengan ”sekondan”. Dalam proses pencalonan kepala daerah, sekondan bukanlah barang seken (second) atau sekadar hiasan karena kemenangan pasangan juga sangat ditentukan oleh peran sekondan.

Peran sekondan atau calon wakil gubernur dalam pilkada bisa dilihat dalam dua hal, meningkatkan popularitas dan memperkuat dana kampanye. Kombinasi kedua hal ini akan menghasilkan banyak pola dan variasi.

Popularitas memiliki tujuan mendulang suara sebanyak-banyaknya. Faktor ketenaran ini bisa hanya dalam lingkup yang kecil atau lokal. Maksudnya, calon dikenal hanya pada daerah yang mengadakan pilkada atau sekitarnya. Akan lebih menguntungkan jika calon populer dalam lingkup yang lebih luas atau nasional, dikenal di seantero Tanah Air. Secara marketing, ia sudah menjual terlebih dahulu, jauh-jauh hari.

Di beberapa pilkada gubernur yang sudah berlangsung, popularitas calon wakil gubernur ini sudah terbukti. Di Jawa Barat, popularitas aktor dan anggota DPR, Yusuf Macan Efendi, yang beken dengan nama Dede Yusuf, sedikit banyak mendongkrak perolehan suara. Masyarakat, tidak hanya di Jawa Barat, tentu sudah mengenal sosok bintang iklan obat sakit kepala ini sejak sebelum pencalonannya di pilkada. Kondisi ini berbeda dengan pasangannya, Ahmad Heryawan, yang baru mencuat setelah mencalonkan diri.

Di tingkat pemerintahan yang lebih rendah, ketenaran aktor Rano Karno sebagai calon bupati Tangerang juga telah terbukti. Tokoh sentral dalam sinetron ”Si Doel Anak Sekolahan” ini berperan besar mengantarkan pasangannya menduduki posisi nomor satu di kabupaten tersebut.

Pada Pilkada Gubernur Jawa Tengah lain lagi. Gubernur terpilih, Bibit Waluyo, tergolong seorang tokoh yang sudah didengar nama dan kiprahnya di tingkat nasional setelah menjabat sebagai Pangdam IV/Diponegoro (1999-2000), Pangdam Jaya (2001-2002), dan Pangkostrad (2002-2004). Lingkup kepopulerannya boleh dibilang sudah nasional, ia dikenal tidak hanya di Jateng.

Bibit Waluyo memilih sekondan seorang Rustriningsih, Bupati Kebumen yang menjabat selama dua periode. Namanya, selain dikenal di Kebumen dan Jateng, juga sering menghias media massa nasional sebagai bupati perempuan dengan kualitas yang baik. Kombinasi pasangan yang secara popularitas sama kuat ini tepat dan memenangi pilkada dengan mengantongi 43,44 persen suara. Rustriningsih menjadi sosok sekondan perempuan yang sukses. Bahkan, sebelum pemilihan, popularitasnya jauh melampaui ”komandannya”.

Namun, hanya berbekal popularitas lokal bukan berarti tak memiliki peluang untuk menang. Popularitas lokal telah mengantarkan pasangan Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho menjadi pasangan gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara terpilih.

Setelah faktor ketenaran, sekondan juga berperan besar dalam memperkuat dana kampanye. Pada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jabar, kekayaan calon gubernur Dede Yusuf lebih besar dibandingkan pasangannya. Begitu juga di Kabupaten Tangerang, kekayaan calon bupati Rano Karno lebih unggul ketimbang pasangannya.

Namun, ini bukan rumus mutlak. Ada pengecualian seperti yang terjadi di pilgub Sumut dan Jateng. Kekayaan calon gubernur yang akhirnya terpilih melebihi kekayaan sang sekondan. Oleh karena itu, bisa jadi sekondan tidak menyumbang banyak, baik soal popularitas maupun dana.

Sekondan Jatim

Bagaimana kekuatan sekondan di Jawa Timur? Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, Priyatmoko Dirdjosuseno, mengatakan, peran sekondan yang paling kuat hanya dimiliki oleh calon wakil gubernur Saifullah Yusuf atau Gus Ipul. Gus Ipul termasuk tokoh terkenal secara nasional disebabkan pernah menjabat sebagai Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (2004-2007). Ia pernah pula menjabat sebagai anggota DPR tahun 1999-2004. Selain itu, ia menguasai jaringan pemuda, GP Ansor, dengan menjadi ketua umum.

Dalam jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas, 15 Juli lalu, posisi Gus Ipul teratas dibandingkan keempat calon lain dalam hal kelayakan menduduki posisi wakil gubernur. Ia dipilih oleh 29,5 persen responden. Posisi kedua adalah Ali Maschan Moesa (20,8 persen) dan ketiga Mudjiono (20 persen).

Namun, dalam Pilkada Jawa Timur, sosok calon gubernur tampaknya lebih menjadi penentu kemenangan daripada sosok sekondan. Hasil jajak pendapat tersebut juga menyebutkan, sosok yang akan paling berperan menentukan perolehan suara adalah calon gubernur ketimbang sosok sekondannya. Separuh responden (54,7 persen) yang sudah mempunyai ketetapan akan memilih pasangan calon karena tertarik pada si calon gubernur. Hanya 6,2 persen responden yang pilihannya ditentukan oleh faktor sekondan. Sementara responden yang akan memilih berdasarkan kombinasi keduanya sebanyak 34,2 persen. Dalam survei pascapencoblosan (exit poll) yang dilakukan Litbang Kompas, 23 Juli, 80,4 persen responden memilih karena sosok gubernurnya, bukan wakilnya.

Sekondan dalam Pilgub Jatim, menurut Priyatmoko, tidak begitu kuat alias kartu mati. ”Perang antarcalon wakil gubernur kurang kuat, baik dalam menciptakan isu maupun mengangkat program,” katanya.

Meski demikian, keberadaan sekondan tetap diperhitungkan. Kubu Khofifah menyatakan, keberadaan sekondannya yang dari militer akan turut menentukan dalam meraih suara dari kalangan tersebut. Khofifah akan diuntungkan oleh jaringan militer yang dimiliki sekondannya.

Pertarungan yang cukup ketat akan terjadi antara pasangan Khofifah-Mudjiono dan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf dalam putaran kedua nanti. Kekayaan Mudjiono lebih unggul daripada Khofifah, tetapi secara popularitas Khofifah lebih terkenal. Popularitas Gus Ipul melebihi Soekarwo, tetapi soal kekayaan, Soekarwo lebih unggul. Yang pasti, sekondan bukan hanya hiasan atau seken komandan.

(GIANIE/Litbang Kompas)

Pilkada Jatim (4)

Saling Saing Rebutan Pemilih Muda dan Perempuan
Jumat, 25 Juli 2008 | 01:42 WIB 

Oleh GIANIE

Memilih satu dari lima pasang calon bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika setiap pasang calon berasal atau memiliki unsur ikatan yang sama, misalnya tradisi ke-NU-an yang menjadi ciri dominan Jatim. Ditambah lagi dengan adanya sikap apatis terhadap siapa pun gubernur yang terpilih.

Hasil jajak pendapat terhadap pemilih sesaat setelah memberikan suaranya (exit poll) yang dilakukan Litbang Kompas menunjukkan lekatnya aspek-aspek primordial seperti jender, etnis, dan agama dalam pilihan terhadap kandidat.

Kalangan nahdliyin, yang merupakan pemeluk agama Islam terbanyak di Jatim, cenderung memilih pasangan Khofifah-Mudjiono (Kaji) dan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur periode 2008-2013. Dalam Pilkada Jatim, pasangan Kaji diprediksi memperoleh suara 32,5 persen dari kalangan NU, sementara Karsa 25 persen. Jika putaran kedua Pilkada Jatim digelar, suara kaum nadliyin kemungkinan besar tetap akan menjadi penentu kedua pasangan tersebut.

Adapun suara konstituen Islam dari Muhammadiyah cenderung memilih pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa). Responden pemilih yang beragama lainnya, seperti Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, cenderung memberikan suaranya kepada pasangan Soetjipto-Ridwan Hisjam (SR) dan Karsa.

Pilihan jender

Kehadiran Khofifah Indar Parawansa sebagai satu-satunya perempuan calon gubernur Jatim menyedot sebagian besar suara konstituen perempuan (34,1 persen). Pasangan Karsa hanya mendapat 27,3 persen suara perempuan. Sebaliknya, suara konstituen laki-laki dikuasai oleh pasangan Karsa 28,7 persen, sedangkan Kaji hanya mendapat 23,9 persen.

Meski mengaku tidak begitu mengenal figur Khofifah, pemilih perempuan memberikan suaranya karena Khofifah merupakan tokoh perempuan Ketua PP Muslimat NU yang bisa membawa pembaruan. Sosok Muslimah ini diyakini bisa membawa perbaikan keislaman masyarakat, sisi spiritual yang sangat dikedepankan di Jatim.

Sebagai gambaran, salah satu TPS sampel yang terletak di Dusun Kopen, Kelurahan Ngrimbi, Kecamatan Bareng, Jombang, yang berjarak sekitar satu jam dari pusat kota, menjadi salah satu tempat pemenangan Khofifah. Kaum perempuan di dusun yang secara geografis sulit dengan infrastruktur yang buruk dan tak satu pasangan calon pun yang sampai ke wilayah ini begitu mengidolakan Khofifah.

”Calon perempuan hanya Khofifah. Ia dari Muslimat NU, sosok yang cerdas dan bisa memberikan perubahan,” demikian kata Supiah, yang terang-terangan mendukung Khofifah. Mesin Muslimat NU, juga Fatayat NU, memang terbukti ampuh merasuk hingga pelosok-pelosok desa melalui aktivitas pengajian para ibu-ibu atau remaja putri dan sosialisasi yang disampaikan oleh para istri kiai di pondok pesantren.

Kaum muda memilih

Antusias kaum muda terlihat dari gerombolan pemuda-pemudi yang mendatangi sejumlah TPS, terutama yang berada di wilayah pondok-pondok pesantren. Responden exit poll berusia muda, 17-23 tahun, cenderung memberikan suaranya kepada pasangan Karsa (31,1 persen). Perolehan suara pasangan nomor urut lima ini bersaing dengan pasangan Kaji yang mendulang 26,7 persen suara golongan muda. Karsa juga berpotensi menguasai suara pemilih yang berusia 24-34 tahun (32 persen). Sementara Kaji mendapatkan 30,2 persen. Suara untuk pasangan yang didukung PPP dan 12 partai kecil lainnya ini tampak lebih menonjol pada kelompok masyarakat berusia 35 tahun ke atas.

Secara etnis, terjadi rebutan suara yang juga ketat antara pasangan Kaji dan Karsa. Pemilih yang beretnis Jawa memberikan suara sama banyak kepada pasangan Karsa (27,7 persen) ataupun Kaji (27,2 persen). Pemilih beretnis Madura lebih memilih Kaji (37,7 persen) ketimbang Karsa (30,4 persen). Etnis lainnya memilih pasangan Kaji.

Karakteristik agama, jender, usia, dan etnis pemilih menunjukkan betapa ketatnya penguasaan dan tarik-menarik antara pendukung pasangan Kaji dan Karsa yang diprediksi akan maju ke putaran kedua Pilkada Jatim. Sosialisasi dan pencitraan kedua pasangan ini cukup berhasil.

Masyarakat Jatim begitu independen dalam memutuskan pilihannya. Tidak ada pihak yang dominan memengaruhi calon yang akan dipilih responden, baik itu tokoh agama (kiai), anggota keluarga, teman, kerabat, maupun aparat pemerintahan.

Terbukti, kampanye atau sosialisasi yang dilakukan para calon tidak berpengaruh apa-apa terhadap keputusan memilih. Hal ini disampaikan oleh sebagian besar responden (56,8 persen). Responden pun tidak berusaha mengajak atau memengaruhi orang lain untuk memilih calon sesuai dengan pilihannya. ”Memilih itu adalah hak masing-masing orang,” kata Mas’ah (28).

Yang menarik, pilihan konstituen atas kedua pasangan calon ini lebih disebabkan oleh kualitas dan kemampuan calon ketimbang sekadar alasan kesesuaian pemilih dengan partai politik yang mengusung pasangan calon. Artinya, pemilih sekarang lebih rasional memilih pemimpinnya berdasarkan kebutuhan dan kompetensi calon ketimbang menelan mentah-mentah apa yang disodorkan parpol. (Gianie/Litbang Kompas)

Pilkada Jatim (3)

Pilpol Pilgub Wong Osing
Jumat, 25 Juli 2008 | 01:45 WIB 

Oleh SUWARDIMAN

”Karakter Banyuwangi lebih kurang bisa dilihat dari makanan khasnya. Rujak itu dari Sidoarjo, sedangkan soto dari Madura. Di sini rujak dan soto dicampur, jadilah rujak soto khas Banyuwangi. Atau pecel dicampur rawon, jadi juga pecel rawon yang cuma ada di Banyuwangi.”

Demikian tokoh budaya Banyuwangi, Hasnan Singodimayan, memberikan analogi dalam menggambarkan masyarakat Banyuwangi, terutama masyarakat Osing, yang merupakan suku asli di wilayah ujung selatan Jawa Timur ini. Karakter masyarakatnya pun menjadi kuat sebagai akibat perpaduan keragaman budaya dan tradisi yang ada di Banyuwangi.

Topografi Banyuwangi yang unik didukung oleh kekuatan karakter masyarakat multikultur yang jumlahnya sekitar 1,5 juta jiwa dan tersebar di wilayah seluas 5.782,50 km2. Ada tiga elemen masyarakat yang secara dominan membentuk stereotipe karakter Banyuwangi. Ketiganya adalah masyarakat Jawa Mataraman, Madura/Pendhalungan, dan Osing.

Persebaran tiga entitas ini bisa ditelisik dengan karakter wilayah secara geografis. Masyarakat Jawa Mataraman lebih banyak mendominasi daerah-daerah pegunungan yang banyak hutan, seperti wilayah kecamatan Tegaldlimo, Purwoharjo, Bangorejo, dan Tegalsari.

Sementara kelompok masyarakat Madura lebih dominan di daerah-daerah yang secara geografis gersang, seperti di Kecamatan Wongsorejo, Muncar, dan Glenmore. Sementara masyarakat Osing sendiri dominan di daerah-daerah yang berlahan subur di sekitar wilayah Banyuwangi kota, seperti Kecamatan Banyuwangi, Giri, Glagah, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring, dan Genteng.

Walaupun menjadi etnis khas di Kabupaten Banyuwangi, secara proporsi, penduduk bersuku Osing tidak menjadi mayoritas di seluruh kabupaten yang memiliki 24 kecamatan ini. Tidak ada data pasti yang menunjukkan secara persis jumlah suku Osing di Banyuwangi.

Namun, sebagai gambaran jumlah warga Osing bukan mayoritas. Orang Osing hanya berjumlah 20 persen dari total populasi Banyuwangi. Terbanyak adalah Jawa 67 persen. Etnis Madura hanya 12 persen di daerah ini.

Meskipun berkelompok dalam kantong-kantong wilayah tertentu, masyarakat Osing tidak bersifat eksklusif seperti masyarakat Tengger di dataran tinggi Tengger dekat Gunung Bromo atau masyarakat Baduy di Banten. Masyarakat Osing sangat adaptif, terbuka, dan kreatif terhadap unsur kebudayaan lain.

Karakteristik egaliter menjadi ciri yang sangat dominan dalam masyarakat Osing. Ini tampak dari bahasa Osing yang tidak mengenal tingkatan bahasa seperti bahasa Jawa atau bahasa Madura. Struktur masyarakat Osing pun tidak berorientasi pada priayi seperti orang Jawa. Juga tidak berorientasi pada kiai sebagaimana orang Madura (Heru SP Saputra, Shrintil, 2007).

Mayoritas masyarakat Banyuwangi beragama Islam, tetapi karakter sinkretisme agama dan budaya pun kental di sini. Hal ini yang mendekatkan arah pilihan politik (pilpol) mereka lebih kepada ideologi Islam, tapi juga terbuka pada ideologi politik lainnya.

Berbasis Islam

Hasil Pemilu 2004 menunjukkan bahwa Partai Kebangkitan Bangsa meraih suara terbanyak dengan 34,59 persen suara. Disusul Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (24,09 persen), Partai Golkar (14,77 persen), dan Partai Demokrat (6,24 persen). Partai berasas Islam yang lebih kental seperti Partai Persatuan Pembangunan hanya meraih 5,4 persen suara dan Partai Keadilan Sejahtera hanya meraup suara 1,28 persen.

Hasil tersebut cukup menggambarkan, selain ideologi Islam, garis ideologi nasionalisme merupakan elemen politik yang cukup kuat di Kabupaten Banyuwangi. Masyarakat Osing merupakan sinkretisme Islam dan tradisi, mirip dengan masyarakat Jawa Mataraman dan Madura/Pendhalungan yang populasinya banyak mendominasi bagian barat dan bagian utara wilayah Banyuwangi.

Hasil jajak pendapat (track poll) menunjukkan bahwa 52 persen responden di Banyuwangi menentukan pilihan mereka berdasarkan figur pasangan calon. Sementara 20,6 persen memilih karena partai pengusungnya, sisanya (26,5 persen) tidak menyebutkan alasan mereka.

Namun, fenomena koalisi tampaknya membuat bingung sebagian warga yang berupaya menguatkan pilihan mereka dalam garis ideologi yang mereka yakini. Busain (52), sopir angkutan di Banyuwangi, adalah salah satunya.

”Saya lebih memilih partai yang berbasis Islam, tapi sekarang ada koalisi-koalisian. Ini bikin lebih bingung lagi. Pilkada ini partai Islam A berkoalisi dengan partai B, pilkada lainnya koalisi sama partai lain. Jadi ndak jelas maunya apa,” keluh wong Osing itu.

Begitu juga soal Pilgub Jatim yang terkait dengan pilpol tentunya. Karakter pasangan yang nyaris seragam membuat bingung pemilih.

”Saya bingung, semua calon ada unsur NU-nya. Milih siapa pun sama saja, Mas,” kata Busain saat ditanya soal calon pilihannya. Busain boleh jadi mewakili suara sekian banyak masyarakat Osing lainnya di Banyuwangi.

Hasil hitung cepat dan hasil survei pascapencoblosan terhadap pemilih di Banyuwangi menunjukkan hasil perolehan suara untuk Kaji, Karsa, Salam, dan SR berbeda tipis, kecuali suara untuk Achsan. Begitulah pilkada yang dasarnya pilpol juga.

(SUWARDIMAN/Litbang Kompas)

Pilkada Jatim (2)

"Ngadatnya" Mesin Pengumpul Suara
Jumat, 25 Juli 2008 | 01:43 WIB 

Oleh INDAH SURYA WARDHANI

Suka tidak suka, partai politik masih menjadi kendaraan politik untuk tampil di panggung kekuasaan. Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim pada Rabu (23/7), kelima pasangan kandidat yang gagal melewati aturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 sesungguhnya semua merupakan hasil usungan parpol. Makanya, kegagalan kelima kandidat itu untuk lolos justru menjadi ukuran juga ujian kemampuan parpol itu sebagai pengumpul suara.

inamika politik di wilayah Jatim selama 2004-2008 sebetulnya sudah menunjukkan kalau kemampuan mesin politik partai sebagai penggalang dukungan belum berfungsi optimal dan suka ngadat. Lihat saja kasus parpol yang sukses mendulang suara pada pemilu legislatif tahun 2004, ternyata tidak menuai keberhasilan dalam pilkada selama 2005-2008.

Jatim adalah muara dua aliran politik agamis dan nasionalis. Kedua aliran itu terwakili dalam PKB dan PDI-P, dua parpol yang menguasai konstelasi politik di wilayah ini. PKB merupakan anak kandung Nahdlatul Ulama, yang secara kultural memiliki basis kuat di wilayah Jatim. PKB menang di Jatim pada pemilu tahun 1999 dengan menguasai 35,6 persen dari 19,77 juta suara yang masuk. Perolehan ini mengungguli PDI-P dengan suara yang tidak terpaut jauh (33,7 persen).

Hal ini merupakan fenomena karena secara nasional, PKB menduduki peringkat ketiga dengan suara 12,6 persen. Sementara itu, partai pemenang pemilu tahun 1999 adalah PDI-P (33,7 persen) disusul Partai Golkar (22,4 persen).

Keberhasilan PKB di Jatim kembali terulang pada pemilu legislatif 2004. Meski jumlah suara menurun, PKB masih menguasai sepertiga wilayah Jatim (30,55 persen). Sementara itu, posisi kedua dan ketiga masih sama dengan tahun 1999, yakni PDI-P (21,00 persen) dan Partai Golkar (13,2 persen).

Bila dicermati, perolehan suara ketiga partai pemenang pemilu di Jatim ini menurun. Simpati pada partai baru, Demokrat, menjadi salah satu penyebabnya. Partai Demokrat yang didirikan pada tahun 2001 itu berhasil menyodok susunan politik dengan meraih posisi keempat (7,39 persen). Menggelembungnya kantong suara juga dialami oleh PPP (6,9 persen) dan PAN (4,9 persen). Namun, dibandingkan dengan tahun 1999, perolehan suara kedua partai itu tidak meningkat signifikan.

”Ngadat” modal suara

Namun, susunan itu ternyata tidak serupa dan sebangun dengan dinamika pilkada kabupaten kota. PKB menyia-nyiakan kesempatan emas. Dari 30 pilkada di Jatim selama ini, hanya 10 yang dimenanginya. Bahkan, hanya empat yang menang sendirian, sisanya harus berkoalisi, baik dengan Golkar, PKS, maupun PAN. Dalam pilkada kali ini, bahkan massa PKB banyak lari ke calon lain. Kaji mendapatkan untung terbesar dari limpahan suara PKB (lihat grafik).

PDI-P juga mengalami hal serupa. Partai unggulan kedua di Jatim ini hanya sukses tanpa koalisi pada Pilkada Kabupaten Blitar, Nganjuk, dan Kota Batu.

Wajar jika kemampuan parpol dalam menggalang dukungan massa kini dipertanyakan efektivitasnya. Suara pemilih kini tidak semata-mata didasarkan pada parpol, tetapi justru kepada figur. Namun, dalam Pilkada Jatim, partai berlambang banteng ini menunjukkan itikad yang keras meskipun calonnya kurang populer. Setidaknya, 48 persen pemilih PDI-P setia pada pilihan partainya.

Pilkada Jatim memberikan ujian bagi mesin parpol lagi. Padahal, semua pasangan calon ini adalah usungan parpol. Tiga di antaranya diusung tanpa koalisi, yakni Sutjipto-Ridwan Hisjam (SR) oleh PDI-P, Soenarjo-Ali Maschan Moesa (Salam) oleh Partai Golkar, dan Achmady-Suhartono (Achsan) oleh PKB. Sementara itu, dua lainnya diusung oleh koalisi parpol. Khofifah-Mudjiono (Kaji) oleh koalisi PPP dan 12 parpol, sedangkan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) oleh koalisi PAN, Partai Demokrat, dan PKS.

Pasangan Achsan sesungguhnya potensial menguasai suara hingga 30,55 persen. Kantong suara pasangan ini tersebar di seluruh Jatim, terutama di wilayah Madura.

Namun, hasil ujian berkata lain. Perolehan suara berdasarkan hasil hitung cepat Kompas-SCTV menunjukkan bukti ketidaklulusannya.

Sebaliknya, pasangan Karsa justru untung dan lulus. Dengan modal suara 15 persen suara partai, mereka mampu menggaet lebih. Peranan PAN cukup besar dalam mendongkrak suara, 70,5 persen massa partai ini memilih Karsa. Hal yang sama juga menimpa pasangan Kaji. Modal 17 persen, mampu meraih 25 persen.

Bahkan, dari semua partai, basis massa PPP terlihat paling solid, 73,8 persen memilih Kaji. Baik Karsa maupun Kaji akan siap ”main” lagi di putaran kedua Pilkada Jatim. Salah satu harus siap tidak lolos.

(INDAH SURYA WARDHANI /Litbang Kompas)

Pilkada Jatim (1)

Mataraman Itu Kental, tetapi Gagal
Jumat, 25 Juli 2008 | 01:38 WIB 

Oleh BIMA BASKARA dan BUDIAWAN SIDIK ARIFIANTO

Pola kultur Mataraman yang masih ada sampai sekarang tentu memengaruhi cara masyarakat wilayah ini memandang kondisi sosialnya, termasuk terhadap calon pemimpin Jatim yang berlaga di ajang pemilihan gubernur 23 Juli lalu.

alon gubernur yang memiliki kedekatan sosiokultural dengan masyarakat Mataraman lebih ”dimudahkan” dalam urusan merebut hati pemilih di daerah ini. Padahal, bentangan Mataraman merupakan wilayah kultural basis dukungan bagi trio S, Soenarjo, Soekarwo, dan Sutjipto. Soenarjo yang diusung Partai Golkar dan Soekarwo (PAN, Partai Demokrat dan PKS) sejak awal sudah intensif bersaing di wilayah yang pemilihnya paling besar (mencapai 27 persen dari total 29 juta pemilih) di seluruh Jatim (Priyatmo Dirdjosuseno, 2008).

Menurut Priyatmoko Dirdjosuseno, pengamat politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, Mataraman juga menjadi basis utama Soetjipto-Ridwan Hisjam dari PDI-P. Hasil prediksi Kompas-SCTV menunjukkan, pasangan SR yang tidak lolos menuju putaran kedua pilkada nanti berhasil meraih suara terbesar di Mataraman.

Sejak Pemilu 1955 hingga 2004, partai nasionalis memang menguasai daerah luas tlatah Mataraman itu. Pokoknya Mataraman kental sekali warna nasionalisnya.

Monggo, mas, ”inggih”

Banyak orang sering menganggap Jawa Timur itu identik dengan sapaan rek dan cak bagi kaum prianya. Namun, jangan salah, ada juga sebagian orang Jatim yang terbiasa disapa dengan sebutan mas dan tak asing dengan kata-kata monggo atau inggih.

Ya, kebiasaan ber-inggah-inggih alias ber-iya-iya, saling mempersilakan dengan memakai istilah monggo, dan sapaan dengan istilah mas masih banyak digunakan di wilayah Jatim bagian barat yang dikenal sebagai kawasan Mataraman. Istilah Mataraman— menurut dosen Universitas Negeri Malang, M Dwi Cahyono— terkait dengan budaya Mataraman sebagai bagian subwilayah sosiokultural Jatim.

Lingkup subwilayah yang dimaksud merupakan eks wilayah Karesidenan Madiun dan Kediri. Lebih rinci, wilayah tersebut terbagi menjadi Mataraman Kulon (Kabupaten Pacitan, Ngawi, Magetan, Ponorogo) dan Mataraman Wetan (Nganjuk, Trenggalek, Tulungagung, Kota dan Kabupaten Kediri, Blitar, dan Madiun).

Pembagian dua wilayah Mataraman berkaitan dengan erat dan longgarnya budaya Jawa di wilayah bersangkutan. ”Kepekatan sosiokultural Jawa Tengah lebih bisa dijumpai di Mataraman Kulon ketimbang Mataraman Wetan,” ujar Dwi. Mataraman Wetan menjadi kawasan yang lebih terbuka untuk migran sehingga corak sosiokultural Jawa dan Islam di wilayah itu relatif bersentuhan dengan sosiokultural lain. Sosiokultural Mataraman Wetan bersentuhan corak budaya Hindu, Buddha, Kristen, dan kolonial seperti di wilayah Arek dan Pandalungan.

Kendati demikian, secara umum, masyarakat Jatim Mataraman memiliki produk budaya yang tak berbeda dengan komunitas Jawa di Surakarta. Mereka—merujuk pada penelitian yang pernah dilakukan Clifford Geertz pada 1960—banyak dipengaruhi model sosiokultural Jawa Tengah. Pola-pola aristokrasi, keselarasan, keseimbangan, dan penuh simbol juga menjadi ciri kehidupan mereka.

Pola bahasa Jawa yang mereka gunakan mendekati kehalusan bahasa masyarakat Jawa di masa keemasan Kerajaan Mataram. Pola bercocok tanam maupun selera berkesenian yang dianut juga mirip dengan pola masyarakat di Surakarta dan Yogyakarta. Mereka banyak menggeluti ketoprak, campur sari, reog, tayub, wayang kulit, dan wayang orang. Masyarakat daerah Mataraman banyak hidup dari persawahan, perkebunan, hutan, dan perdagangan.

Menurut Bambang Martin Baru, Dekan FISIP Universitas Merdeka Madiun, kultur wilayah Mataraman itu secara umum adalah paternalistik. Kultur bapakisme ini jika dikaitkan dengan pilgub Jatim, para pemilih di wilayah Mataraman akan lebih melihat figur calonnya. ”Aspek calon sangat penting di wilayah ini. Bukan parpol yang dipentingkan karena parpol tidak berpengaruh secara signifikan,” katanya.

Bambang juga mengatakan, kultur bapakisme itu menggunakan cara pandang lebih pada perasaan atau emosional, bukan secara rasional. ”Jika mereka sudah yakin, akan loyal. Seperti contohnya pada masa Pak Karno, masyarakat di sekitar sini setia pada beliau,” ujarnya. Karena itu, lanjutnya, tiap-tiap kandidat calon gubernur harus pintar memetakan kondisi masyarakat di wilayah ini sehingga menimbulkan kesan ”pokoke” bagi warga.

Pendapat serupa diutarakan oleh Dwi Cahyono, sejarawan Universitas Negeri Malang, perihal sosok bapakisme bagi kultur Mataraman. ”Figur sangat penting bagi orang di daerah ini, terutama Mataraman Kulon (barat). Keturunan tokoh atau bibit suatu calon menjadi sangat penting,” katanya.

Oleh sebab itu, jika calon pimpinan ini bersih atau baik dari bibitnya, bisa menjadi pertimbangan bagi pemilih Mataraman. Apalagi jika calon ini berasal dari keturunan pemimpin terdahulu yang dihormati. ”Di wilayah Mataraman masih berlaku peribahasa Jawa, Trah ing kusuma rembesane madu. Jadi, calon gubernur yang berdomisili di daerah itu akan dapat dukungan dari masyarakat Mataraman,” tutur Dwi seraya mencontohkan kasus itu pada saat berlangsung pemilihan kepala desa di daerah Mataraman. ”Calon dari dukuh A akan mendapat dukungan penuh dari warga desa A itu,” katanya.

Reog dan warok

Begitu juga dengan pola aristokrasinya. Selain menghormati tokoh-tokoh formal yang berposisi sebagai pangreh praja, masyarakat Jawa di Mataraman, khususnya di Ponorogo, sampai sekarang juga memandang bahwa tokoh informal, seperti warok dalam reog dan ulama, juga memiliki status sosial penting di daerah ini.

Hingga sekarang, corak sosiokultural reog masih bisa ditemukan pada kehidupan masyarakat Ponorogo. Setiap satu Suro (satu Muharam) selalu dipentaskan reog bersama dengan prosesi kirab pusaka. Ini menjadi salah satu petunjuk bahwa secara kultural, masyarakat wilayah ini masih menjalankan pola-pola simbol yang menjadi ciri Mataraman.

Menurut Arif Rofiq, Kepala Seksi Penyajian Taman Budaya Jawa Timur, ketokohan warok sejak dulu hingga sekarang masih diakui di kalangan masyarakat Ponorogo. ”Dulu, orang mengenal warok sebagai pemilik reog yang berharta, juga memiliki pengaruh di masyarakat. Mereka disegani karena menguasai ilmu kanuragan,” ujarnya.

Saat ini, menurut Arif, nilai-nilai ketokohan warok itu masih disanjung masyarakat Ponorogo. Reog tetap hidup di seluruh Ponorogo meski tak lagi tokoh warok di sana. Sebagai kesenian, perjalanan reog pun terkait dengan perkembangan Islam di wilayah ini.

Prosesi reog yang awalnya merupakan simbol sindiran terhadap pemerintahan Raja Majapahit, kemudian juga banyak digunakan sebagai sarana syiar agama Islam. Tak heran kalau pada pemilu legislatif 2004, PDI-P berhasil meraih kemenangan di Ponorogo karena mampu mengambil hati massa Pondok Pesantren Gontor, sekaligus komunitas Insan Taqwa Illahi (Inti), yang merupakan organisasi para warok dalam reog.

Fenomena sosiokultural Mataraman, menurut ketua tim pengumpul sejarah dan tokoh masyarakat Trenggalek, Soeyono, juga masih terlihat di Trenggalek. Di kabupaten yang penduduknya hidup dari bertani dan berladang ini, setiap tahun diadakan ritual menanam kepala kerbau di bendung Bagongan. Tujuannya memohon pada yang kuasa agar di musim kemarau wilayah ini senantiasa diberkahi air untuk mengairi pertanian.

Merunut legenda, ritual tersebut merupakan bentuk penyebaran ajaran Islam yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat saat itu, yakni masyarakat dengan corak sosiokultural Hindu dan bertani.

Namun, pilkada tetap pilkada. Mataraman yang loyal terhadap kultur asli Jawa Mataraman nyatanya masih loyal dan malu-malu. Makanya, pilkada pada Rabu lalu, suara yang masuk juga malu-malu atau loyo. Yo opo!

(BIMA BASKARA/ BUDIAWAN SIDIK ARIFIANTO/Litbang Kompas)

Minggu, 20 Juli 2008

Gubernur Termuda NTB

KOMPAS/KHAERUL ANWAR / Kompas Images
Muhammad Zainul Majdi
Sabtu, 19 Juli 2008 | 03:00 WIB

Oleh KHAERUL ANWAR

Suatu saat menjelang azan subuh, di Desa Empang, Kabupaten Sumbawa, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Ratusan warga menghadang mobil yang ditumpangi Didi dalam perjalanan dari Kabupaten Dompu.

Para penghadang itu bukan perampok atau preman. ”Mereka minta saya singgah barang setengah jam,” ucap Didi yang juga dikenal sebagai Tuan Guru Bajang (TGB) Kiai Haji Zainul Majdi.

Tuan guru adalah gelar yang diberikan masyarakat di Lombok kepada tokoh agama dan ulama yang paham soal agama. Sementara bajang, yang kemudian melekat padanya, karena dalam usia muda (bajang-bahasa Sasak Lombok) ia menunjukkan kemampuan sebagai tokoh agama, panutan, mubalig dan pemimpin yang patut digugu dan ditiru.

Sebagai mubalig, cucu Tuan Guru Kiai Haji Zainuddin Abdul Madjid (almarhum), seorang pejuang, ulama besar, dan pendiri organisasi pendidikan Nahdlatul Wathan, ini dituntut hadir setiap saat guna memberi siraman rohani bagi kelompok majelis taklim di Pulau Lombok dan Sumbawa.

”Saat itulah saya merasakan tulus ikhlasnya masyarakat menerima pemimpinnya. Mereka mau didengar aspirasinya, mereka butuh pemimpin dan pengayom yang melayani, bukan figur penguasa yang mau dilayani,” ujar TGB yang bergelut dengan dakwah sejak 1997.

Selama periode waktu itu pula, anggota DPR dari Partai Bulan Bintang (PBB) ini melakukan sosialisasi dan proses pencitraan diri. Sosoknya pun melekat di benak masyarakat. Agaknya wajar bila kemudian TGB yang bersama Badrul Munir meraih suara terbanyak dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur NTB periode 2008-2013.

Hasil penghitungan KPU NTB, Senin (14/7) di Mataram, menyebutkan, duet TGB-Badrul (diusung PKS dan PBB) meraih 38,84 persen suara, mengungguli pasangan Lalu Serinata (Partai Golkar, PDI-P) dengan 26,39 persen suara, disusul Zaini Arony-Nurdin Ranggabarani (PPP, PKB) yang mendapat 17,77 persen suara, dan Nanang Samodra-M Jabir (PAN, Partai Demokrat) mengumpulkan 16,99 persen suara.

Denny JA, Direktur Eksekutif Lingkar Survei Indonesia (LSI), menyebut Zainul Majdi sebagai gubernur termuda di Indonesia dan datang dari kalangan ulama. Ia mampu mengalahkan para senior yang sudah makan ”asam-garam” di bidang birokrasi dan politik.

Lalu Serinata, misalnya, selain calon incumbent juga Ketua DPD Partai Golkar NTB dan pernah memegang jabatan di bidang pemerintahan, sedangkan Nanang Samodra adalah mantan Sekretaris Daerah NTB dan Zaini Arony merupakan Sekretaris Pendidikan Luar Sekolah Departemen Pendidikan yang sebelumnya menjabat Kepala Dinas Pendidikan, Olahraga dan Pemuda NTB.

Realisasi janji

Janji TGB-Badrul yang banyak dibicarakan adalah realisasi pendidikan dan pelayanan gratis bagi masyarakat. Katanya, pendidikan gratis ditempuh secara selektif atau gratis selektif. Artinya, biaya pendidikan tak dibebaskan, tetapi disubsidi pemerintah provinsi (pemprov) dan pemerintah kabupaten/kota masing-masing melalui APBD.

Ini terutama bagi siswa di tingkat pendidikan dasar sembilan tahun. Dia akan berusaha mendapatkan data riil siswa tak mampu untuk kemudian berdasarkan skala prioritas ditentukan siswa yang layak dibantu.

Hasil itu dipadukan dan ”dikeroyok” bersama pemkab/pemkot untuk menyiasati pembiayaannya. Misalnya, sekolah mengenakan dana untuk seragam dan buku Rp 25.000 per orang, maka Pemprov NTB menyediakan dana Rp 15.000, sisanya Rp 10.000 ditanggung kabupaten/kota.

Begitu pun dengan layanan gratis kesehatan. Pemprov akan ”melapis” apa yang kurang dari layanan kesehatan selama ini, seperti bantuan bagi keluarga miskin (gakin).

”Tujuan utama program itu, jangan sampai siswa tak bisa menyelesaikan pendidikan dasar karena tidak punya biaya. Jangan sampai pula keluarga miskin yang sakit tidak bisa berobat karena tak punya uang,” tutur TGB.

Tentang pariwisata, ia menempatkan subsektor itu sebagai andalan untuk mendapatkan devisa bagi daerah. Kawasan obyek wisata Senggigi dan tiga gili, seperti Gili Terawangan, Gili Meno, dan Gili Air, diharapkan tetap berjalan. Namun, diperlukan pula obyek wisata lain yang sekiranya cocok bagi keluarga dari negara tertentu, seperti Timur Tengah.

Untuk menggulirkan program itu, bagi TGB, penempatan pejabat haruslah sesuai dengan kemampuan bidang masing-masing. Ia tak ragu meningkatkan nilai nominal tunjangan kinerja daerah (TKD) bagi karyawan yang selama ini diberikan, dengan catatan mereka pun menunjukkan semangat kerja optimal.

Tentang transparansi, tiap dinas/instansi dan badan diharuskan selalu menunjukkan rencana anggaran kegiatan sejak awal, untuk kemudian dipublikasikan. Selain untuk menciptakan aparat yang bersih dari korupsi, juga dimaksudkan agar publik pun mengontrol penggunaan anggaran.

Pendekatan emosional

Pendekatan emosional kepada masyarakat akar rumput menjadi salah satu kunci kemenangan TGB. Terlebih, masyarakat akar rumput di NTB dengan sikap paternalistiknya tahu persis TGB adalah cucu Tuan Guru KH Zainuddin Abdul Madjid.

Menurut Darmansyah, Ketua Pusat Pengkajian Politik dan Otonomi Daerah (P3OD) Universitas Muhammadiyah Mataram, pendekatan emosional itu telah dilakukan TGB sejak 10 tahun terakhir dengan berdakwah hingga ke pelosok desa di Pulau Lombok dan Sumbawa.

Dia juga mempunyai basis massa yang menempatkannya sebagai tokoh, lewat organisasi Nahdlatul Wathan dengan majelis taklim yang tersebar di Lombok dan Sumbawa. Dengan karakteristik pemilih yang umumnya pemilih tradisional itu, maka dalam menjatuhkan pilihan, aspek emosional pada figur yang dinilai ideal sebagai pemimpin lebih menentukan.

”Karena dapat memengaruhi kata hati orang, maka pendekatan emosional lebih kuat dibandingkan pendekatan rasional,” tutur Darmansyah.

Terpilihnya TGB juga dinilai terkait dengan semangat zaman. Masyarakat ingin perubahan dan sesuatu yang baru. Masyarakat agaknya tak menemukan hal baru itu pada para pemimpin sebelumnya.

Komentar nyaris sama diutarakan Saiful Islam, Ketua DPC Hanura Mataram. Katanya, masyarakat sudah jeli memilih pemimpin. Mereka menjatuhkan pilihan pada figur yang lebih moderat, sosok yang mampu mengayomi dan menyejukkan, bahkan mampu menekan potensi konflik dengan keberadaannya. Kriteria itu ada dalam diri TGB.

Darmansyah dan Saiful sepakat, keberhasilan TGB dirintis sejak satu dekade terakhir. Ia meluangkan waktu berdakwah dan memberi siraman rohani kepada masyarakat. Aktivitas itu bisa dikatakan sebagai sosialisasi diri.

Darmansyah menambahkan, keberhasilan TGB merupakan ”pintu masuk” mewujudkan kekuatan masyarakat sipil, sekaligus merupakan tantangan. Sebab, bila janji TGB tak sesuai dengan harapan, bisa menjadi arus balik bagi dirinya.

Rabu, 02 Juli 2008

PEMILU DAN KESEJAHTERAAN; Kasus Indonesia dan Nepal PDF Cetak E-mail

Oleh : Irvan Mawardi

Perdebatan tentang relasi demokrasi dengan kesejahteraan akhir-akhir ini semakin menghangat. Format demokrasi yang saat ini berlangsung di Indonesia secara normatif prosedural sudah patut dibanggakan. Beberapa pilar demokrasi seperti kebebasan pers, pemilu yang fair, reformasi birokrasi, otonomi daerah dll secara prosedural sudah terkonsolidasikan. Pelaksanaan pemilu misalnya. Banyak pihak dari luar yang memberi apresiasi kepada Indonesia yang mampu melaksanakan pemilu 1999 secara demokratis tanpa ada insiden atau pertumpahan darah. Pemilu 2004 yang sekaligus memilih presiden secara langsung juga menjadi prestasi yang signifikan bagi demokrasi di Indonesia. Pasca pemilu 2004, dilanjutkan dengan serentetan pemilihan kepala daerah yang dilakukan dengan mekanisme pemilihan langsung.

Setelah pemilu 2004 dan satu tahun berjalannya pilkada langsung, maka praktek proseduralisme demokrasi mulai dipersoalkan. Beberapa pihak mengkritik pola dan bentuk pemilihan umum yang diklaim sebagai sistem yang demokratis. Beberapa catatan kritis dari persoalan pemilu dan pilkada selama ini adalah, pertama, pemilu dan pilkada cenderung memicu emosi di tengah masyarakat akibat nuansa kompetisi yang kuat. Kecenderungan ini mendorong munculnya bentrokan dan anarkhisme massa. Kedua, pelaksanaan pemilu dan pilkada cenderung tidak memberikan dampak yang signifikan kepada pemilih (rakyat). Rakyat cenderung menyimpulkan bahwa ada dan tidaknya pemilu tidak memiliki pengaruh terhadap perbaikan kondisi kehidupan mereka. Artinya produk hasil pemilu (Baca; Pemimpin) tidak mampu memihak kepada nasib rakyat yang secara nyata telah memilih mereka. Dalam konteks inilah pemilu sebagai instrumen demokrasi dipersoalkan karena tidak memiliki dampak signifikan atas peningkatan kesejahteraan rakyat.

Pemilu dan pilkada selama ini dianggap hanya menghabiskan biaya yang sangat signifikan. Jusuf Kalla menyebut bahwa pemilu Indonesia paling boros di dunia karena menghabiskan hampir 50 milyar $. Belum lagi biaya yang dikeluarkan oleh para kandidat dalam rangka kampanye dan memberi dukungan. Namun di sisi lain, biaya yang keluar tersebut tidak memiliki dampak apa-apa atas kesejahteraan masyarakat. Alih-alih menjadi sejahtera, pasca pemilu dan pilkada, rakyat sepertinya justru tambah menderita seiring dengan naiknya harga berbagai macam makanan pokok. Ada sesuatu yang paradoks ketika pemilu atau pilkada, yakni semua kandidat jor-joran menghabiskan dana untuk kampanye: Baliho, spanduk, iklan di TV dll namun di saat yang bersamaan rakyat yang akan memilihnya justru bingung dengan himpitan ekonomi yang semakin akut. Uang para kandidat dikeluarkan secara jor-joran untuk lobby dari hotel ke hotel, jamuan makan di sana-sini namun di saat yang bersamaan rakyat yang akan memilihnya justru terpaksa makan nasi aking. Inilah fenomena demokrasi yang kehilangan substansi.

Nepal sekali tiga uang

Ketika isu tentang relasi demokrasi dan kesejahteraan menjadi hangat di Indonesia, kebetulan saya mendapat kesempatan ikut pemantauan pemilu di Nepal. Sebagai negara yang sedang menuju alam demokrasi pasca runtuhnya kekuasaan monarki raja, maka pemilu pun menjadi tonggak awal demokratisasi. Sama halnya dengan Indonesia, kondisi perekonomian yang lemah harus berhadapan dengan arus demokratisasi. Selama proses pemilu berlangsung maka paradoks pun muncul yakni bertebarannya janji dan kemewahan para elit di tengah kemiskinan yang akut di level arus bawah. Empat hari lalu, saya berkunjung di sebuah desa kecil di kabupaten Parsa. Dalam perjalanan menuju ke lokasi desa tersebut, perasaan saya sudah terbawa ke alam pelosok. Betapa tidak, jalan yang kami lalui sekitar 25 km hanyalah jalan yang penuh gelombang tanpa aspal. Mobil yang kami tumpangi harus meliuk-liuk di deretan rumah kumuh yang saling berhimpitan. Bagi saya inilah pemandangan yang sangat menyentuh nurani. Sebuah potret kemiskinan yang nyata; penduduk nyaris satu rumah dengan binatang ternak mereka, anak kecil tanpa celana dan baju bergumul di tanah dengan penuh debu yang kotor, rumah penduduk yang hampir roboh, dan satu keluarga menyantap makanan yang di sampingnya seekor kerbau yang juga asyik menyantap makanan; Sebuah realitas kemiskinan yang akut.

Hanya sekitar 100 meter dari perkampungan kumuh dan miskin itu, sebuah partai politik beserta para kandidat dan jurkamnya sedang berorasi dan kalimat yang berapi-api. Tanpa disertai dengan rasa keprihatinan, para kandidat mengobral optimisme dan pepesan kosong yang didengar oleh para rakyat yang termangu dan dengan pandangan kosong. Anak-anak pun ikut meramaikan kampanye dengan perasaan tanpa harap. Ketika kami tanya, mereka hadir sekedar melihat keramaian. Tidak ada keyakinan bahwa pasca kampanye dan terpilihnya para pengobral janji itu, kehidupan mereka akan lepas dari jerat kemiskinan.

Inilah kelemahan politisi di Nepal dan juga di Indonesia dalam menyuguhkan demokrasi di hadapan rakyat yang tidak berdaya. Mereka menawarkan demokrasi dengan cara elit yakni memberi ruang yang terpisah antara ruang demokrasi dan kondisi riil rakyat. Padahal esensi dari demokrasi itu sesungguhnya adalah kehadiran dan kesejateraan mereka. Para politisi berkampanye dan menjual program dengan memberi jarak antar “kami” dan “kalian”. Akhirnya yang muncul adalah kampanye dan pemilu seolah milik para politisi dan kesengsaraan tetaplah di pangkuan rakyat yang menderita.

Dalam konteks pemilu Nepal, keterasingan rakyat miskin dari euforia politik para elit dalam pemilu diperparah oleh situasi politik yang tidak aman. Alih-alih mereka mendapat percikan kesejahteraan ketika proses pemilu berlangsung, namun justru yang muncul adalah ketakutan dan kecemasan akibat bom yang setiap saat meledak. Kelaparan kemudian dibumbuhi oleh kecemasan akibat pembunuhan yang setiap saat bisa menghampiri mereka. Mereka pun merasa khawatir keluar rumah hanya sekedar mencari asa untuk mendinamiskan perut yang kosong. Inikah demokrasi yang mesti mereka nikmati dengan kelaparan dan ketakutan. Pantaslah kemudian di warung-warung kopi yang kami temui masih banyak tersisa harapan dari rakyat kecil untuk kembali masa lalu; Memimpikan konsep atau sistem monarki dengan kekuasaan raja. Tentu ini juga realitas demokrasi, bukankah demokrasi berasal dari inisiasi rakyat itu sendiri.

Sepertinya demokratisasi di Nepal memang akan mengalami jalan yang terjal. Seperti halnya Indonesia yang mengalami jalan yang panjang dalam proses demokratisasi. Kemiskinan dan keterasingan menjadi problem mendasar karena pada prinisipnya demokrasi menghendaki rasionalitas dan kedewasaan bertindak. Namun rasionalitas tidak mudah hadir di tengah perut yang kosong. Kedewasaan tidak mungkin hadir di tengah ketidakpastian hidup. Nepal menghadirkan tantangan yang lebih berat selain kemiskinan yakni persoalan keamanan dan jaminan hidup. Inilah realitas yang terkadang terlupakan oleh pelaku proseduralisme demokrasi. Mereka memaksakan demokratisasi hadir di ruang yang hampa.

Dalam situasi seperti ini elit dan rakyat masih mungkin bertemu, tapi pertemuan itu murni atas nama pragmatisme. Ya pragmatisme politik akan selalu menjadi warna khas di negara yang mengalami keterpurukan ekonomi namun berada dalam situasi euforia demokrasi. Pragmatisme elit dan rakyat akan bersekutu atas nama demokrasi namun sekali lagi realitas itu semu karena tidak mampu menghadirkan substansi demokrasi. Money politik dan pemborosan para elit akan mewarnai alam demokratisasi Nepal ke depan, mungkin.....

MISTERI JUMLAH PILKADA PDF Cetak E-mail

Oleh : Josef Christofel Nalenan

(Manajer Riset dan Pengembangan JPPR)

Berapakah jumlah daerah yang telah melaksanakan Pilkada langsung di Indonesia ? Pertanyaan yang sederhana ini ternyata tidak terlalu mudah untuk dijawab, karena beberapa sumber ternyata memiliki hasil yang berbeda-beda. Kompas pada tanggal 18 Februari 2008 menyebutkan bahwa sampai saat ini sudah berlangsung 323 Pilkada, sementara pada hari yang sama Harian Seputar Indonesia menyatakan bahwa sudah berlangsung 476 Pilkada di seluruh Indonesia. Data tentang jumlah Pilkada semakin menjadi misteri karena otoritas resmi yang seharusnya memiliki data tersebut, seperti pihak Depdagri dan KPU --setidaknya dari penelusuran penulis terhadap website kedua lembaga tersebut-- sama sekali tidak menampilkan data mengenai jumlah Pilkada yang telah berlangsung dan juga jadwal Pilkada yang akan berlangsung.

Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) melakukan penelusuran untuk mengetahui berapakah jumlah Pilkada yang telah berlangsung, dan diperoleh data bahwa sejak pertama kali Pilkada diadakan pada tanggal 1 Juni 2005 di Kutai Kertanegara sampai yang paling akhir yang diadakan di Bone pada tanggal 17 Februari 2008, telah berlangsung 343 Pilkada dengan rincian pada tahun 2005 telah berlangsung Pilkada di 207 Kab/Kot dan 7 Provinsi, pada tahun 2006 terlaksana Pilkada di 70 Kab/Kot dan 7 Provinsi, pada tahun 2007 berlangsung Pilkada di 35 Kab/Kot dan 6 Provinsi, sedangkan untuk tahun 2008 telah berlangsung Pilkada di 11 Kab/Kot (untuk rincian nama Provinsi, Kabupaten dan Kota dan tanggal pelaksanaannya bisa dilihat di Website jppr.or.id pada menu Jadwal Pilkada 2005-2008). Data yang dimiliki JPPR ini diperkuat dengan data yang dipunyai oleh Cetro, pada data Cetro yang terdapat pada Websitenya --cetro.or.id-- jumlah daerah yang telah melaksanakan Pilkada sampai saat ini juga ada 343 daerah, yang berbeda antara data JPPR dan Cetro adalah jika pada data JPPR Kabupaten Serang melaksanakan Pilkada pada tanggal 19 Juni 2005 sementara data Cetro Kabupaten Serang baru akan melaksanakan Pilkada pada bulan Agustus 2008; kemudian yang berbeda lagi adalah Kepulauan Talaud, data JPPR menunjukkan bahwa daerah tersebut baru akan melaksanakan Pilkada pada tahun 2008, sementara dalam data Cetro menunjukkan Kepulauan Talaud telah melaksanakan Pilkada pada tahun 2006.

Perbedaan yang terjadi antara berbagai sumber terhadap jumlah dan jadwal Pilkada yang telah berlangsung selama ini seharusnya tidak perlu terjadi jika saja di Indonesia ada otoritas resmi yang bisa menyediakan data tersebut kepada publik. Data mengenai jumlah Pilkada sendiri adalah data yang sangat penting karena dengan data tersebut bisa diketahui sejauh mana proses demokrasi telah berlangsung di Indonesia. Oleh karena itu untuk ke depannya pihak Depdagri dan juga KPU yang memiliki Desk Pilkada harus menyediakan data tersebut kepada publik sehingga data mengenai jumlah Pilkada tidak menjadi sebuah misteri lagi.

PILKADA DAN PARTISIPASI POLITIK PDF Cetak E-mail

Oleh : Irvan Mawardi*

Pemilihan umum menjadi salah satu indikator stabil dan dinamisnya demokratisasi suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, penyelenggaraan pemilu memang secara periodik sudah berlangsung sejak awal-awal kemerdekaan bangsa ini, akan tetapi proses demokratisasi lewat pemilu-pemilu yang terdahulu belum mampu menyemai nilai-nilai demokrasi yang matang akibat sistem politik yang otoriter. Harapan untuk menemukan format demokrasi yang ideal mulai nampak setelah penyelenggaraan pemilu 2004 lalu yang berjalan relatif cukup lancar dan aman. Untuk ukuran bangsa yang baru beberapa tahun lepas dari sistem otoritarian, penyelenggaraan pemilu 2004 yang terdiri dari pemilu legislatif dan pemilu presiden secara langsung yang berjalan tanpa tindakan kekerasan dan chaos menjadi prestasi bersejarah bagi bangsa ini . Tahapan demokrasi bangsa Indonesia kembali diuji dengan momentum pemilihan kepala daerah langsung yang telah berlangsung sejak 2005. Meskipun sebagian masyarakat masih skeptis dengan Pilkada langsung ini terutama ketidaksiapan materi dan infrastruktur, namun demikian momentum pilkada idealnya dijadikan sebagai proses penguatan demokratisasi.

Sejatinya agenda ke depan bangsa ini tidak bisa lepas dari upaya penguatan, partisipasi dan kemandirian rakyat lewat proses-proses yang demokratik. Catatan ini penting mengingat karakter dan kamampuan berdemokrasi rakyat masih sangat lemah, sementara secara factual, rakyat sebenarnya hidup di ruang yang sangat terbuka. Persoalan mendasar adalah rakyat hidup di tengah demokratisasi yang mulai terbuka lebar pasca lengsernya Soeharto yang kemudian diiringi oleh kebebasan partisipasi yang luar biasa, akan tetapi belum diiringi oleh kematangan mental dan sikap dalam berdemokrasi. Kebebasan berpolitik, tidak ditopang oleh rasionalitas, daya kritis, dan kemandirian berpikir dan bersikap. Padahal nilai utama yang diusung oleh demokrasi adalah terbukanya ruang-ruang politik rasional dalam diri setiap rakyat. Kebebasan yang tidak didasari oleh rasionalitas politik akhir-akhir ini sangat nampak dalam upaya penguatan kekuasaan pada aras politik lokal. Peluang konflik politik dalam perebutan kekuasaan akan meningkat seiring ditetapkannya mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung mulai tahun 2005. Di tengah belum menguatnya kesadaran politik di level grass root, maka momentum Pilkada menjadi pertarungan politik yang selalu membuka ruang potensi konflik, manipulasi, money politics, dan intimidasi.

Dalam konteks penguatan demokratisasi, pilkada langsung sebenarnya berpeluang untuk melakukan pematangan dan penyadaran berdemokrasi. Rakyat yang memiliki kesadaran berdemokrasi adalah langkah awal dalam menuju lajur demokrasi yang benar. Sebagaimana disampaikan Murray Print (1999), pembentukan warga negara yang memiliki keadaban demokratis dan demokrasi keadaban paling mungkin dilakukan secara efektif hanya melalui pendidikan kewarganegaraan (civic education). Aktualisasi dari civic education sebenarnya terletak kepada tingkat partipasi politik rakyat di setiap momentum politik seperti pemilu. Partisipasi politik yang lemah berakibat pada sebuah realitas politik yang kini menggejala di permukaan dan terkait dengan era otonomi daerah yaitu terjadinya kesenjangan politik antara masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan lokal, di mana aktor pelaksana kekuasaan lokal (baik unsur birokrasi maupun legislatif) sering melakukan langkah pengambilan dan pelaksanaan kebijakan politik yang tidak selaras dengan aspirasi kolektif masyarakat sipil. Lembaga kekuasaan politik lokal yang sebagian besar didominasi kalangan partai politik peraih suara Pemilu 2004 yang lalu sering kali tidak mampu menjalankan fungsi keterwakilan politik dan kurang optimal dalam peran sebagai pelayan aspirasi public. Seberapa jauh Pilkada selama ini memberi ruang partipasi politik bagi rakyat ? apakah pilkada mampu menjadi titik persinggungan rakyat dan Negara sebagai manipestasi partisipasi politik rakyat ?

Pilkada : Partisipasi atau euphoria Politik ?

Dalam konteks Negara, partisipasi politik rakyat adalah keterlibatan rakyat secara perseorangan (privat citizen) untuk mengerti, menyadari, mengkaji, melobi dan memprotes suatu kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah dengan tujuan mempengaruhi kebijakan agar aspiratif terhadap kepentingan mereka. Dari ilustrasi di atas, partisipasi rakyat bisa dipahami sebagai keterlibatan rakyat dalam pengertian politik secara sempit---hubungan Negara dan masyarakat (dalam bingkai governance)-dan juga politik secara luas—semua bentuk keterlibatan masyarakat dalam proses berhimpun untuk mempengaruhi ataupun melakukan perubahan terhadap keputusan yang diambil partisipasi politik rakyat sebetulnya adalah tema sentral dari proses demokratisasi. Dalam kerangka inilah masyarakat bisa berperan sebagai subyek dalam menentukan arah masa depan society-nya.

Di Indonesia perdebatan tentang partisipasi politik hanya terbatas pada angka tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap pemilihan umum. Sebelum reformasi bergulir, angka itu selalu berada pada kisaran 90 persen, maka dengan mudah orang akan menyebut bahwa partisipasi politik masyarakat tinggi. Tapi sebetulnya bukan itu, atau tepatnya bukan satu-satunya ukuran tentang tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum. Yang lebih penting adalah adanya jaminan dan mekanisme yang baku, dan comfortable bagi semua rakyat untuk dapat menyalurkan pikiran-pikirannya kedalam sebuah institusi formal. Satu peran rakyat yang amat penting adalah melakukan social control terhadap pemerintah, maupun institusi-insitusi lain seperti DPR ataupun peradilan. Secara kasat mata mungkin bisa kita mengatakan bahwa partisipasi politik masyarakat akhir-akhir ini meningkat. Intensitas demo yang makin marak, interaktif TV dan radio yang makin mendominasi program-program massa, serta meningkatnya keterlibatan publik dalam perdebatan tentang satu wacana tertentu. Tapi apakah semua kondisi yang disebutkan tadi sudah memberikan jaminan bahwa partisipasi politik sudah benar-benar terjadi?

Ternyata tidak. Akhir-akhir ini partisipasi politik pada pilkada cenderung menurun. Sejatinya, penyelenggaraan pilkada menjadi momentum untuk memperkuat partisipasi politik rakyat, tidak hanya sekedar menjadikan pilkada sebagai euphoria politik semata. Dengan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung ini berarti partisipasi politik rakyat akan lebih efektif . Namun, evaluasi pilkada 2006-2008 yang telah berlangsung selama ini menunjukkan betapa partisipasi politik masih cukup rendah dalam Pilkada. Beberapa hasil Pilkada yang menunjukkan rendahnya partisipasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini;

Daerah

Persentase Tidak Memilih

Kota Medan

45.32%

Prov. Sumbar

36.28%

Bengkulu

30.27%

Kota Depok

40.23%

Kota Pekalongan

36.49%

Blitar

46, 34 %

Kota Surabaya

48.59%

Kota Makasar

46,45 %

Prov Sumut

48, 42%

Prov Jabar

32, 7%

Dari hasil pemantauan penulis di beberapa daerah yang melaksanakan pilkada menunjukkan beberapa pemicu rendahnya partisipasi masyarakat dalam pilkada: Pertama, masyarakat secara sadar dan mandiri untuk tidak menggunakan hak pilihnya dengan pertimbangan yang didasari sikap apatis, yakni mereka meyakini bahwa para calon yang bertarung tidak memiliki kapasitas untuk mewujudkan harapan mereka.

Selain itu, mereka menyadari bahwa mencoblos dan tidak mencoblos memiliki makna yang sama, yakni tidak memberi pengaruh yang cukup signifikan dalam kehidupan mereka. Kedua, rendahnya partisipasi masyarakat dalam pilkada, diakibatkan persoalan tekhnis dalam pilkada. Dalam hal ini, penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang amburadul memicu tingginya jumlah warga yang tidak terdaftar di DPT sehingga menggurkan hak mereka sebagai pemilih. Persoalan DPT selama pelaksanaan pilkada menjadi masalah krusial yang sepertinya tidak memiliki solusi. Sebab serangkaian pilkada sudah berlangsung, masalah DPT yang tidak akurat tetap menyisakan persoalan rendahnya partisipasi pemilih. Pilkada di Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Jawa Barat dan Sumatera Utara menjadi contoh yang paling mutakhir. Ketiga, partisipasi juga dipengaruhi oleh kepentingan individual pemilih. Dalam hal ini, banyak pemilih yang lebih mendahulukan dan memprioritaskan kebutuhan individualnya; pergi ke sawah, masuk kerja bagi buruh pabrik atau tidak mudik bagi yang merantau daripada pergi ke TPS untuk mencoblos.

Tantangan mendesak adalah menjadikan Pilkada sebagai bentuk artikulasi politik rakyat yang rasional dan kritis. Inilah esensi dari partipasi politik rakyat. Selama proses Pilkada masih didominasi oleh elit-elit partai politik yang bermental korup, maka rakyat akan merasakan pilkada sebagai euphoria semata. Selain itu, pilkada akan menjadi euphoria ketika praktek manipulasi, money politik dan kekerasan politik masih berlangsung. Oleh karena itu rakyat hendaknya diberikan kemerdekaan untuk menentukan pilihannya.

Rakyat harus mampu menentukan hak-hak politiknya secara sadar dan bertanggung jawab. Sebagai proses yang baru dan meniscayakan kehidupan demokratis yang lebih beradab, maka pilkada harus mampu dipahami sebagai suatu proses yang penuh dengan dinamika. Selain itu, kesiapan tekhnis yang selama ini menjadi domain pemerintah dan KPUD pada persoalan pendataan pemilih harus segera ditingkatkan supaya hak warga memilih tidak hilang secara percuma. Mungkin itu.

*) Program Officer pada Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)