Rabu, 16 April 2008

Gubernur Baru Versi "Quick Count"
Selasa, 15 April 2008 | 16:26 WIB

Oleh DEDE MARIANA

Kejutan. Barangkali itulah kata tepat yang menggambarkan hasil (sementara) penghitungan suara pemilihan gubernur atau pilgub Jawa Barat 2008. Sekalipun pengumuman resmi hasil penghitungan suara belum ditetapkan Komisi Pemilihan Umum Jabar, hasil penghitungan cepat (quick count) yang dilaksanakan sejumlah lembaga riset menunjukkan hasil yang sungguh di luar dugaan.

Lingkaran Survei Indonesia, Lembaga Survei Indonesia, dan prediksi Kompas menunjukkan, perolehan suara dimenangi pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf (Hade). Pasangan Agum Gumelar dan Nu'man Abdul Hakim (Aman) di posisi kedua, dan pasangan Danny Setiawan-Iwan Sulandjana (Dai) di posisi ketiga.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jabar baru akan menghitung dan menetapkan pemenang pilgub secara resmi pada 22 April 2008. Hasil sementara penghitungan suara KPU hingga Minggu (13/4) pukul 23.24 ternyata menunjukkan kecenderungan yang tidak jauh berbeda dengan hasil quick count. Perolehan suara tertinggi masih diperoleh pasangan Hade, diikuti pasangan Aman dan pasangan Dai.

Banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari pilgub Jabar 2008. Semula, banyak pengamat memprediksi hasil pilgub Jabar masih akan memunculkan figur-figur incumbent yang memang sejak awal telah menunjukkan kekuatan dukungan dari partai politik (parpol) dan tokoh-tokoh masyarakat. Dukungan parpol besar terhadap pasangan incumbent seolah menjadi jaminan sukses.

Sebaliknya, kondisi psikologis massa tampak adem ayem dan terkesan cuek selama masa kampanye berlangsung. Hasil survei opini publik yang sempat dilansir menjelang hari pemungutan suara pun masih menunjukkan kecenderungan preferensi pemilih pada pasangan calon nomor satu dan dua. Pada masa kampanye pun antusiasme massa lebih menonjol pada pasangan calon nomor satu dan dua. Namun, di luar dugaan, pasangan Hade mampu meraih perolehan suara terbesar.

"Swing voters"

Dalam pemilihan langsung, dinamika politik berlangsung sangat cepat. Kecenderungan memilih memang dapat diperkirakan melalui survei opini publik. Namun, massa mengambang (swing voters) yang belum memiliki pilihan tetap umumnya baru menentukan pilihan beberapa detik sebelum pencoblosan berlangsung. Detik-detik yang berlangsung selama pemilih berada di balik bilik suara menjadi sangat krusial, sekaligus menunjukkan betapa pemilihan langsung bersifat sangat spontan.

Karena itu, kesan yang ada dalam benak pemilih tentang para calon menjadi sangat penting. Kesan ini terutama terbentuk selama masa kampanye berlangsung, apalagi bila melihat ketiga pasangan calon pilgub Jabar yang rekam jejaknya relatif tidak terlalu diketahui masyarakat. Kesan selama kampanye inilah yang menentukan calon pemilih bersimpati atau tidak terhadap para kandidat. Pertimbangan memilih berdasarkan pemahaman visi, misi, dan program tampaknya tidak terlampau signifikan karena akses informasi terhadap visi, misi, dan program sangat terbatas.

Bagi pemilih secara umum, faktor popularitas figur sangat menentukan pilihannya. Inilah yang menyebabkan preferensi pemilih dalam pilgub Jabar tidak berkorelasi dengan preferensi dalam memilih parpol. Apalagi, dalam kertas suara tidak tercantum parpol pendukung dari masing-masing pasangan calon. Karena itu, kegagalan pasangan calon dalam meraih suara terbanyak sesungguhnya juga mencerminkan kegagalan parpol sebagai mesin politik, termasuk juga kegagalan dalam mengonsolidasikan kerja para kader, simpatisan, dan sukarelawan yang tergabung dalam tim sukses.

Parpol gagal berfungsi mengondisikan konstituen, serta membina jejaring yang kuat dalam memobilisasi pendukung. Selama ini tidak banyak parpol yang serius menggarap basis data konstituennya, dan hanya mengandalkan hasil suara selama pemilu legislatif untuk menunjukkan kekuatannya.

Padahal, preferensi pemilih sangat dinamis dan fluktuatif, bahkan sangat spontan. Bisa jadi orang yang semula memilih parpol X beralih menjadi pemilih parpol Y dalam pemilu berikutnya karena berbagai penyebab. Misalnya, kekecewaan terhadap kinerja parpol, ketidakpercayaan kepada figur pemimpin/tokoh parpol, atau bisa jadi karena merasa tidak memiliki ikatan apa pun dengan parpol yang bersangkutan.

Saat ini sangat sedikit parpol yang sungguh-sungguh melakukan pembinaan ideologis terhadap para konstituennya dan hanya mengandalkan pada pragmatisme untuk menjaring suara. Padahal, pragmatisme tidak cukup kuat untuk membangun keterikatan emosional parpol dengan massa. Bahan pelajaran

Pelajaran pertama yang bisa kita ambil dari "kemenangan" Hade adalah soal lemahnya fungsi parpol sebagai mesin politik. Pelajaran kedua, kegagalan incumbent untuk meraih suara terbanyak menunjukkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja mereka selama periode pemerintahan sebelumnya.

Popularitas figur juga menjadi penjelas ketiga dari fenomena pilgub Jabar 2008. Kemunculan figur artis sebagai calon dalam pemilihan kepala daerah tampaknya mulai menjadi tren. Terpilihnya Rano Karno sebagai Wakil Bupati Tangerang seolah menjadi awal masuknya para artis ke dalam arena politik. Demikian pula dengan Dede Yusuf, sekalipun artis, ia juga memiliki karier politik sebagai anggota Partai Amanat Nasional dan anggota DPR.

Keempat, pasangan calon yang meraih suara terbanyak berasal dari luar Jabar. Hal ini mencerminkan defisit kepemimpinan di Jabar. Sudah saatnya para elite Jabar melakukan regenerasi kepemimpinan. Fenomena gerontokrasi sebenarnya sudah mulai menjadi wacana. Namun, kasus pilgub ini menjadi bukti kuat bahwa masyarakat menginginkan perubahan, menginginkan semangat baru dalam pemerintahan.

Wacana yang mendikotomikan pendatang dengan penduduk asli sudah tidak tepat lagi. Agenda ke depan adalah bagaimana mengoptimalkan seluruh sumber daya yang ada di Jabar, tanpa melihat faktor etnis, agama, dan lain-lain. Kondisi Jabar sekarang semakin beragam sehingga diperlukan kebijakan yang sesuai untuk mengelola hal ini.

Hasil pilgub Jabar 2008 menjadi pelajaran bagi kita semua akan kekuatan suara rakyat yang dapat meruntuhkan pertimbangan-pertimbangan akademik dari para pengamat dan penghitungan politik para elite. Namun, masa depan Jabar masih panjang. Pilgub justru menjadi awal yang perlu diikuti dengan perubahan dan pembaruan agar aspirasi rakyat benar-benar terealisasikan.

Banyak agenda yang harus ditangani para pemimpin baru Jabar. Pembenahan birokrasi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, penataan wilayah yang lebih seimbang, pelestarian lingkungan hidup, serta penanganan kemiskinan dan pengangguran menjadi persoalan penting yang harus segera ditangani. Inilah saatnya merealisasikan janji-janji dan komitmen moral semasa kampanye.

Di bawah kepemimpinan baru, tantangan akan sangat kuat untuk membangun kepercayaan dari seluruh stakeholder, terutama dari kalangan birokrasi, elite parpol, dan pelaku usaha. Namun, modal awal dukungan masyarakat sudah ada di tangan. Mari, bangun Jabar baru yang sejahtera. DEDE MARIANA Dosen Universitas Padjadjaran

Tidak ada komentar: