Rabu, 30 April 2008

Liputan Khusus (1)

Nasib Kaum Tua dan Eks Serdadu di Pilkada
Senin, 28 April 2008 - 10:05 wib
Hasil pilkada di sejumlah daerah mengindikasikan perubahan peta politik di masyarakat. Figur baru menjadi harapan,sementara kekuasaan politik lama cenderung tak laku lagi.

Partai politik besar terkesima. Para jenderal berguguran, termasuk incumbent. Itulah yang terjadi dalam "pergelaran" politik lokal (pemilihan kepala daerah/pilkada) di beberapa daerah baru-baru ini.Pilkada di dua provinsi besar di Indonesia, Jawa Barat (Jabar) dan Sumatera Utara (Sumut)-notabene menjadi kantong suara partai besar (Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/ PDIP)-seakan menghentakkan publik dengan kemenangan kuda hitam.

Di Jabar,pasangan Ahmad Heryawan- Dede Yusuf usungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang tidak diunggulkan berhasil mengalahkan pasangan incumbent Danny Setiawan-Mayjen TNI (Purn) Iwan R Sulandjana (Golkar) dan pasangan Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar-Nu`man Abdul Hakim yang diusung PDIP.

Begitu pun di Sumut dengan pasangan Syamsul Arifin-Gatot Pujo yang berhasil mengalahkan empat pasangan lainnya. Ada hal menarik dari hasil pilkada di dua provinsi besar Indonesia ini. Pertama, berkendaraan partai besar atau berstatus sebagai incumbent belum tentu menjamin kandidat pasangan bisa meraih kemenangan.

Kedua, telah terjadi perubahan mozaik politik lokal di tingkat masyarakat.Hal ini terlihat dari kecenderungan masyarakat untuk tidak lagi memilih pemimpin yang merupakan warisan lama. Mereka membutuhkan perubahan jika tidak bisa dibilang revolusi dengan figur-figur baru yang lebih muda.

Ketiga, memperlihatkan partai besar tidak lagi cerdas membaca kehendak perubahan dalam masyarakat. Jadi, persoalannya bukan pada figur sipil atau militer. "Ini mengindikasikan adanya perubahanpetapolitikditingkatmasyarakat. Khususnya di Jawa yang dulu dikuasai partai besar.

Selain itu, angin reformasi berembus kuat sehingga masyarakat menginginkan perubahan," ujar Presiden PKS Tifatul Sembiring yang ditemui SINDO di DPP PKS pekan lalu. Tifatul tidak sepakat bahwa kemenangan yang diraih pasangan PKS-PAN di Jabar lebih disebabkan dikotomi sipil-militer yang terjadi di masyarakat meski dikotomi itu mungkin saja masih ada pada sebagian pemahaman rakyat.

"Saya lebih melihat kompetensi dari kandidat yang bersangkutan. Kalau dia tidak punya kemampuan, secara kepribadian bagaimana personalitasnya, ini yang dilihat rakyat.Bukan militer atau sipil.Selain itu,ada nuansa tokoh-tokoh tua sudah kurang laku,"ungkapnya. Hal senada diungkapkan calon presiden 2009 yang juga mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.

Menurut dia, apa yang terjadi di Jabar dan Sumut karena rakyat tidak lagi mau memilih incumbent. Terkait calon purnawirawan, Bang Yos, begitu Sutiyoso biasa disapa, lebih melihat kepada figurnya yang kurang mumpuni di mata masyarakat. "Kalau dia (incumbent) selama lima tahun tidak melakukan perubahan apa-apa, dia tidak lagi dipilih.

Soal purnawirawan itu terkait figurnya, bukan pada jenderalnya. Meski dikenal, dia tidak mengakar, "ujar Bang Yos kepada SINDO. Jika diselisik lebih jauh, untuk melihat politik lokal di Jabar misalnya, telah terjadi perubahan lanskap politik lokal. Meminjam istilah pengamat politik CSIS Indra J Piliang, wilayah Jabar berbeda dengan provinsi lain di Indonesia.

Di Jabar, ikatan ideologis lebih mendominasi ketimbang ikatan primordial lainnya. Sebab, bagaimanapun, sejak Pemilu 1955,Jabar merupakan basis kekuatan partai Islam (Masyumi). Nah, PKS dan PAN merupakan dua parpol yang merepresentasikan Islam modernis. Boleh jadi hal itu juga yang berlaku di Sumut.

Selain itu,dalam pemikiran masyarakat jamak, incumbent dan purnawirawan dianggap sebagai kekuatan status quo. Ketika kekuatan ini tidak melakukan perubahan atau setidaknya menjadi simbol kekuatan lama yang kurang mumpuni rakyat,perhatian publik akan beralih kepada pendatang baru yang dianggap bisa membawa perubahan.

Khusus bagi purnawirawan TNI, periode saat ini menjadi masa transisi, dari sebuah kekuatan politik yang sangat besar di masa lalu menuju kekuatan politik yang wajar. Tentu transisinya butuh waktu lebih panjang. Proses pilkada itu sendiri bisa dijadikan etalase bagaimana proses transisi itu berjalan dan seberapa besar kapasitas politik TNI.

Meski begitu, citra politik TNI tetap kuat. Hal ini terlihat dari keinginan sejumlah partai politik yang menjadikan figur berlatar belakang militer sebagai sosok potensial. Lebih dari itu,kekuasaan memiliki magnet yang sulit dihindari,terlebih bagi anggota TNI yang di masa lalu akrab dengan kekuasaan, baik secara kelembagaan ataupun personal.

Hal ini mungkin yang menjadi faktor pendorong beberapa anggota pensiunan TNI untuk mencoba meraih kembali sesuatu yang dulu sangat identik dengan TNI. Tetapi, satu hal pula yang tidak kalah pentingnya adalah keberadaan massa mengambang (floating mass) dalam jumlah besar. Sebab, sudah menjadi rahasia umum kelompok yang satu ini termasuk golongan putih yang kadung kecewa dengan kekuatan politik lama.

Tidak ada komentar: