Rabu, 16 April 2008

Matematika Politik Hade



Boni Hargens

Pemilihan Kepala Daerah Jawa Barat mematahkan hitungan para peneliti dan amatan pakar politik. Tidak sedikit pengamat dan lembaga survei mengunggulkan Agum Gumelar-Nu’man.

Kita lihat, polling pra-pilkada selalu mengunggulkan Agum Gumelar-Nu’man (Aman) yang diusung PDI-P dan PPP sebagai pasangan populer. Akan tetapi, kenyataannya, yang unggul adalah pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf (Hade) yang diusung Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Semula, Hade tidak diperhitungkan sebagai pemenang. Pasangan incumbent Danny Setiawan-Iwan Sulandjana (Da’i) yang diusung Golkar bahkan dinilai lebih kuat dilihat dari fasilitas politik, seperti penguasaan jaringan politik. Selain itu, pada Pemilu 2004, perolehan suara Partai Golkar di Jabar mencapai 29,4 persen, PDI-P 16,7 persen, PKS di posisi ketiga dengan perolehan suara 11,4 persen, lalu PPP memperoleh 9,9 persen dan Partai Demokrat 8,3 persen suara.

Sejumlah pertanyaan

Dari hasil hitungan lembaga yang melakukan penghitungan cepat (quick count), termasuk Kompas, sejak awal penghitungan suara, pasangan Hade adalah pemenang. Keunggulan Hade ini membongkar matematika politik lama yang menyimpulkan Jawa Barat sebagai basis Golkar di Pulau Jawa. Sebagai basis Golkar, setidaknya terobosan politik partai baru seperti PKS, misalnya, tidak begitu signifikan. Analisis ini ternyata salah.

Maka muncullah sejumlah pertanyaan: (a) Apakah ini bukti kemenangan kaum muda?; (b) Apakah ini cermin kaum selebriti memiliki masa depan—artinya popularitas menjadi determinan penting—dalam dunia politik di Tanah Air?; (c) Apakah ini sinyal keruntuhan oligarki partai tua?; (d) Apakah ini preseden keunggulan partai ideologis seperti PKS?; (e) Atau jangan-jangan ini sekadar dominasi politik parokial?

Kaum muda

Pertama, keunggulan kaum muda. Dua tahun terakhir, isu perubahan pada kabin politik kebangsaan selalu dilekatkan pada isu kepemimpinan muda. Tesis ini berdasarkan asumsi, jika kaum muda memimpin politik, maka perubahan signifikan bakal tercipta. Ciri dinamis, energik, transformatif, dan ciri lain yang melekat pada kaum muda merupakan modal utama.

Dalam konteks inilah, kemenangan pasangan muda Hade diklaim sejumlah kalangan sebagai kemenangan kaum muda. Sintesis seperti ini tentu sah-sah saja. Akan tetapi, betulkah ini dasar arkaik yang cukup kuat? Seberapa kuat tuntutan kepemimpinan muda dalam politik kita yang masih amat patriarkal? Dengan kata lain, kita memerlukan argumentasi lain atas keunggulan Hade.

Pengaruh selebriti

Kedua, keunggulan Hade barangkali terpaut eksistensi Dede Yusuf sebagai selebriti yang dikenal luas. Setidaknya, tanpa berkampanye pun, publik sudah mengenal siapa Dede Yusuf, meski itu bukan pengenalan politis.

Jika pilkada diselenggarakan di negara modern dengan tingkat pendidikan politik tinggi, jelas pemilih lebih mengutamakan pengenalan politis (agenda, visi-misi, program) daripada pengenalan publik. Namun dalam lingkup politik kita yang masih bergerak di permukaan (baca: politik citra), popularitas adalah modal. Maka wajar jika Hade mendominasi rural voters dan sub-urban voters.

Keruntuhan partai tua

Ketiga, boleh jadi pula, kemenangan Hade yang diusung partai politik yang muncul sesudah 1998, mencerminkan keruntuhan oligarki partai tua seperti Golkar dan PDI-P. Ada kejenuhan yang tak terbendung terhadap partai lama yang disimpulkan gagal membawa perubahan. Karena kalau diperhatikan, PK sendiri tidak lolos electoral threshold Pemilu 1999 sehingga harus berganti nama dari Partai Keadilan (PK) menjadi Partai Keadilan Sejahtera untuk bisa mengikuti Pemilu 2004. Keunggulan partai baru terletak pada visi dan misi baru yang ditawarkan. Setidaknya pada tataran ideal, mereka diuntungkan oleh penekanan pada isu perubahan, sesuatu yang cukup sukar digarap oleh partai tua.

Struktur internal partai tua yang didominasi oleh figur lama dan nilai politik klasik (baca: patronase) menjadi alasan mengapa partai seperti Golkar dan PDI-P susah merebut hati pemilih yang antusias perubahan. Barack Obama di AS pun unggul karena slogan stand for change, sehingga politisi matang seperti Hillary Clinton pun terancam tergusur.

Partai ideologis

Keempat, boleh jadi kemenangan Hade mencerminkan adanya kontigensi bagi kehadiran partai ideologis seperti PKS di tengah masyarakat politik. Kalau hipotesis ini betul, kita dapat berkesimpulan, pemilih menghendaki partai politik yang memiliki karakter dan bisa dipercaya membawa perubahan. Dan hal itu hanya bisa datang dari partai yang memiliki ideologi yang jelas. Selain itu, partai ideologis lebih fokus. Ketua Umum PKS Tifatul Sembiring mengaku partainya fokus menyosialisasikan Hade di sejumlah kabupaten-kota yang terbukti menjadi kantong massa PKS, seperti Bogor, Bekasi, Cianjur, Depok, dan Sukabumi.

Selain fokus, partai ideologis pun unggul dalam hal details. Berpikir dan bekerja detail adalah hal yang asing bagi partai lama yang biasa dengan politik mobilisasi massal dengan mesin kuat seperti birokrasi dan tentara. PKS hadir dengan pola pendekatan person to person atau door to door. Pola ini efektif karena menyentuh orang demi orang.

Dominasi politik parokial

Kelima, satu hal yang juga tak boleh diabaikan, keunggulan Hade bisa mencerminkan dominasi politik parokial. Secara teoretik, politik parokial ditandai oleh kesadaran politik yang rendah, pengetahuan akan kandidat amat minim, pengaruh paksaan atau mobilisasi kuat sehingga orang memilih bukan karena ”kehendak iklas” (Schumpeter, 1957).

Pada atmosfer parokialisme ini, determinasi dangkal seperti popularitas, uang, manipulasi, dan jaringan bosisme (Sidel, 1999) atau strong persons system (Abinales, 2000) adalah kunci kemenangan politik. Kita tidak menuduh Hade bertindak curang. Akan tetapi, popularitas Dede Yusuf merupakan modal penting. Itu pula sebabnya mengapa banyak artis belakangan bekerja di dan untuk partai politik.

Boni Hargens Pengajar Ilmu Politik UI; Direktur Parrhesia Institute

Tidak ada komentar: