Rabu, 30 April 2008

Liputan Khusus (2)

Bukan Soal Sipil atau Militer
Senin, 28 April 2008 - 15:34 wib
Kekalahan para calon kepala daerah eks militer bukan karena latar belakang militer.Kekalahan mereka karena evaluasi kepribadian atau persepsi kompetensinya masih kalah dari calon lain.

Tentara Nasional Indonesia (TNI) punya sejarah panjang dalam panggungpolitiknasional.Sejak era Orde Baru, perwira TNI diproyeksikan dan berkesempatan besar menjadi serdadu bisnis atau politik. Kondisi ini membuat perwira setingkat letnan kolonel atau kolonel berpeluang untuk menduduki jabatan kepala daerah tingkat dua.

Kemudian mantanpanglimadaerahmiliter(pangdam) sangatberpeluangmenjadiorang nomor satu di tingkat provinsi (gubernur). Begitu pula di kancah bisnis,banyak perwira TNI yang menduduki jabatan komisaris perusahaan.

Bahkan,ketikaOrdeBaruberkuasa, praktis kebebasan berpolitik kelompok sipil dibatasi.Tak pelak,hal ini memunculkan wacana bahwa purnawirawan lebih siap ketimbang tokoh sipil untuk memegang jabatan politik. Namun, ketika reformasi bergulir, situasi politik berubah drastis. TNI pun melakukan reformasi dengan kembali ke barak.

Hal ini membuat perhatian masyarakat terhadap perwira TNI di masa reformasi semakin berkurang dibandingkan para seniornya yang di masa Orde Baru menduduki jabatan penting.Kondisi ini juga berimbas kepada purnawirawan yang menduduki posisi penting pada akhir era Orde Baru. Ketika harus kembali berperang dalam kancah politik praktis, para purnawirawan itu harus memiliki energi lebih untuk kembali memperkenalkan diri di mata masyarakat yang menginginkan perubahan.

Apalagi, di masyarakat masih ada pemahaman tentang dikotomi sipil militer. Hal itu yang diduga menjadi penyebab peran politik purnawirawan di daerah mengalami penurunan. Dari enam provinsi di Pulau Jawa,misalnya, hanya Jawa Timur yang sekarang dipimpin purnawirawan, yaitu Imam Utomo.Padahal,ketika Orde Baru berkuasa, hanya Daerah Istimewa Yogyakarta yang dipimpin orang sipil, yaitu Sultan Hamengku Buwono, sementara sisanya dipimpin purnawirawan.

Boleh jadi,inilah buah Reformasi. Calon Presiden 2009 Sutiyoso menilai, kekalahan sejumlah purnawirawan TNI dalam pilkada bukan karena faktor kemiliteran mereka, tetapi terutama karena faktor ketokohan calon."Itu lebih pada sosoknya saja. Bukan karena rakyat menolak militer. Tidak ada arah ke sana," tandas mantan Gubernur DKI Jakarta ini kepada SINDO.

Sebab,menurut dia,ketika seorang purnawirawan TNI mencalonkan diri sebagai kandidat kepala daerah, statusnya sama dengan masyarakat sipil lain. Tidak ada campur tangan instansi militer dalam hal itu. Sebab, masalah ini sudah diatur dalam UU No 34/2004 tentang TNI.Di dalamnya ada ketentuan prajurit TNI aktif tidak diperbolehkan terjun dalam politik praktis.

Berarti memang harus menunggu hingga pensiun. Memang,dari berbagai hasil jajak pendapat, sebagian masyarakat masih banyak berharap kepada calon berlatar belakang militer. Setidaknya, hal ini bisa dilihat dari jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia yang masih menempatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai sosok yang banyak dipilih rakyat, meski trennya menunjukkan penurunan.

Termasuk ketika Sutiyoso mendeklarasikan diri sebagai calon presiden 2009, setidaknya mampu menyedot perhatian media. Saat ini, sistem politik telah berubah. Semula pemilihan kepala daerah dilakukan DPRD,tetapi sekarang langsung dipilih rakyat. Kondisi ini membuat seorang kandidat harus dikenal masyarakat.Tingkat popularitas menjadi syarat mutlak.

Menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari,kalaupun cukup dikenal,karena sudah purnawirawan, biasanya calon dari militer sudah cukup sepuh.Khususnya belakangan ini, mulai kencang aspirasi tentang calon dari kalangan yang lebih muda. Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa kekalahan para calon kepala daerah eks militer bukan karena mereka berlatar belakang militer.

Ditambahkan Qodari, dalam beberapa kali survei yang menanyakan pendapat publik tentang berbagai institusi pemerintahan, institusi TNI pada umumnya masih mendapatkan penilaian yang baik,bahkan lebih baik daripada institusi yang notabene banyak diisi kalangan sipil seperti partai politik dan DPR.

Jadi kekalahan calon eks militer tidak dapat dikatakan sebagai resistensi publik terhadap calon militer ketimbang calon sipil. "Bukan tidak ada pemilih yang memilihcalonberdasardikotomisipil- militer seperti halnya ada pemilih yang mencoblos dengan alasan latar belakang suku atau agama.

Namun,beberapa hasil survei juga menunjukkan kekalahan calon militer lebih karena evaluasi kepribadian atau persepsi kompetensi calon yang bersangkutan masih kalah dari calon lain, "ungkapnya. Pengamat militer MT Arifin menyebutkan, kondisi tersebut lebih disebabkan adanya proses demiliterisasi sebagai bagian dari reformasi demokrasi.

Menurut dia, dalam dua periode pemilihan umum, proses tersebut masih akan berlangsung.Selain itu, reformasi TNI yang menitikberatkan pada back to barrack (kembali ke barak) telah meminimal kan peran TNI yang di masa lalu sarat modal (uang), jaringan, dan massa. "Saat ini mereka (militer) sudah tidak lagi memiliki hal itu,"ungkap Arifin.

Boleh jadi, para purnawirawan yang diusung partai politik untuk berlaga di kancah pilkada adalah tokoh yang mumpuni. Namun, yang menjadi soal, apakah tokoh tersebut yang sesuai dengan aspirasi dan keinginan rakyat? Di sinilah kepiawaian partai politik untuk membacanya dan menyiapkan mesin politik yang bisa diandalkan.

Sebab, kendaraan yang besar tanpa diimbangi kekuatan mesin politik hanya akan dipecundangi kendaraan kecil yang bermesin prima.Saatnya parpol besar berkaca, jangan buruk muka kaca dipecah.

(Sindo Pagi//sjn)

Liputan Khusus (1)

Nasib Kaum Tua dan Eks Serdadu di Pilkada
Senin, 28 April 2008 - 10:05 wib
Hasil pilkada di sejumlah daerah mengindikasikan perubahan peta politik di masyarakat. Figur baru menjadi harapan,sementara kekuasaan politik lama cenderung tak laku lagi.

Partai politik besar terkesima. Para jenderal berguguran, termasuk incumbent. Itulah yang terjadi dalam "pergelaran" politik lokal (pemilihan kepala daerah/pilkada) di beberapa daerah baru-baru ini.Pilkada di dua provinsi besar di Indonesia, Jawa Barat (Jabar) dan Sumatera Utara (Sumut)-notabene menjadi kantong suara partai besar (Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/ PDIP)-seakan menghentakkan publik dengan kemenangan kuda hitam.

Di Jabar,pasangan Ahmad Heryawan- Dede Yusuf usungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang tidak diunggulkan berhasil mengalahkan pasangan incumbent Danny Setiawan-Mayjen TNI (Purn) Iwan R Sulandjana (Golkar) dan pasangan Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar-Nu`man Abdul Hakim yang diusung PDIP.

Begitu pun di Sumut dengan pasangan Syamsul Arifin-Gatot Pujo yang berhasil mengalahkan empat pasangan lainnya. Ada hal menarik dari hasil pilkada di dua provinsi besar Indonesia ini. Pertama, berkendaraan partai besar atau berstatus sebagai incumbent belum tentu menjamin kandidat pasangan bisa meraih kemenangan.

Kedua, telah terjadi perubahan mozaik politik lokal di tingkat masyarakat.Hal ini terlihat dari kecenderungan masyarakat untuk tidak lagi memilih pemimpin yang merupakan warisan lama. Mereka membutuhkan perubahan jika tidak bisa dibilang revolusi dengan figur-figur baru yang lebih muda.

Ketiga, memperlihatkan partai besar tidak lagi cerdas membaca kehendak perubahan dalam masyarakat. Jadi, persoalannya bukan pada figur sipil atau militer. "Ini mengindikasikan adanya perubahanpetapolitikditingkatmasyarakat. Khususnya di Jawa yang dulu dikuasai partai besar.

Selain itu, angin reformasi berembus kuat sehingga masyarakat menginginkan perubahan," ujar Presiden PKS Tifatul Sembiring yang ditemui SINDO di DPP PKS pekan lalu. Tifatul tidak sepakat bahwa kemenangan yang diraih pasangan PKS-PAN di Jabar lebih disebabkan dikotomi sipil-militer yang terjadi di masyarakat meski dikotomi itu mungkin saja masih ada pada sebagian pemahaman rakyat.

"Saya lebih melihat kompetensi dari kandidat yang bersangkutan. Kalau dia tidak punya kemampuan, secara kepribadian bagaimana personalitasnya, ini yang dilihat rakyat.Bukan militer atau sipil.Selain itu,ada nuansa tokoh-tokoh tua sudah kurang laku,"ungkapnya. Hal senada diungkapkan calon presiden 2009 yang juga mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.

Menurut dia, apa yang terjadi di Jabar dan Sumut karena rakyat tidak lagi mau memilih incumbent. Terkait calon purnawirawan, Bang Yos, begitu Sutiyoso biasa disapa, lebih melihat kepada figurnya yang kurang mumpuni di mata masyarakat. "Kalau dia (incumbent) selama lima tahun tidak melakukan perubahan apa-apa, dia tidak lagi dipilih.

Soal purnawirawan itu terkait figurnya, bukan pada jenderalnya. Meski dikenal, dia tidak mengakar, "ujar Bang Yos kepada SINDO. Jika diselisik lebih jauh, untuk melihat politik lokal di Jabar misalnya, telah terjadi perubahan lanskap politik lokal. Meminjam istilah pengamat politik CSIS Indra J Piliang, wilayah Jabar berbeda dengan provinsi lain di Indonesia.

Di Jabar, ikatan ideologis lebih mendominasi ketimbang ikatan primordial lainnya. Sebab, bagaimanapun, sejak Pemilu 1955,Jabar merupakan basis kekuatan partai Islam (Masyumi). Nah, PKS dan PAN merupakan dua parpol yang merepresentasikan Islam modernis. Boleh jadi hal itu juga yang berlaku di Sumut.

Selain itu,dalam pemikiran masyarakat jamak, incumbent dan purnawirawan dianggap sebagai kekuatan status quo. Ketika kekuatan ini tidak melakukan perubahan atau setidaknya menjadi simbol kekuatan lama yang kurang mumpuni rakyat,perhatian publik akan beralih kepada pendatang baru yang dianggap bisa membawa perubahan.

Khusus bagi purnawirawan TNI, periode saat ini menjadi masa transisi, dari sebuah kekuatan politik yang sangat besar di masa lalu menuju kekuatan politik yang wajar. Tentu transisinya butuh waktu lebih panjang. Proses pilkada itu sendiri bisa dijadikan etalase bagaimana proses transisi itu berjalan dan seberapa besar kapasitas politik TNI.

Meski begitu, citra politik TNI tetap kuat. Hal ini terlihat dari keinginan sejumlah partai politik yang menjadikan figur berlatar belakang militer sebagai sosok potensial. Lebih dari itu,kekuasaan memiliki magnet yang sulit dihindari,terlebih bagi anggota TNI yang di masa lalu akrab dengan kekuasaan, baik secara kelembagaan ataupun personal.

Hal ini mungkin yang menjadi faktor pendorong beberapa anggota pensiunan TNI untuk mencoba meraih kembali sesuatu yang dulu sangat identik dengan TNI. Tetapi, satu hal pula yang tidak kalah pentingnya adalah keberadaan massa mengambang (floating mass) dalam jumlah besar. Sebab, sudah menjadi rahasia umum kelompok yang satu ini termasuk golongan putih yang kadung kecewa dengan kekuatan politik lama.

Senin, 28 April 2008

Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah 2007

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

(Dialihkan dari Pilkada 2007)
Langsung ke: navigasi, cari

Berikut adalah daftar Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) yang sudah dan akan diselenggarakan pada tahun 2007 di berbagai daerah di Indonesia. Pada tahun ini juga, seiring berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, nama resmi Pilkada berubah menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Daftar isi

Februari

Pemenang: Hendro Martojo dan Ahmad Marzuqi (PPP, PD, PDS, 10 parpol nonlegislatif) dengan 59,55% suara.
Pemenang: Eko Maulana Ali dan Syamsuddin Basari (PD, PKS, PBB, PAN) dengan 35,36% suara.

Maret

Artikel utama: Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bekasi 2007.
Pemenang: Sa'duddin dan Darip Mulyana (PKS) dengan 25,05% suara.
Pemenang: Lukas Enembe dan Henock Ibo (Partai Golkar, PKB, PAN, PKPB dengan 59% suara.
Pemenang: Stepanus Malak dan Tri Budiarto (Partai Golkar, PDS, PKB, PPDK) dengan 46% suara.
Pemenang: Jonathan Annes Jumame dan Baesara Wael (Partai Golkar, PKS, PBSD, PD) dengan 34,48% suara.

April

Pemenang: Abdullah Tuasikal dan Imanuel Seipalla (Partai Golkar, PKB, PAN, PBR, PKPI, PPNUI) dengan 34,78% suara.
Pemenang: Amran A. Batalipu dan Ramli Kadidia (Partai Golkar) dengan 28,16% suara.

Mei

Pemenang: Daniel Adoe dan Daniel Hurek (PKB, PKS, PPIB, PBB) dengan 26,48% suara.
Pemenang: Tengku Nurdin Abdurrahman dan Tengku Busmadar (Independen) dengan 62% suara.

Juni

Pemenang: Putu Bagiada dan Made Arga Pinatih (PDIP) dengan 35,90% suara.
Pemenang: Asrun dan Musaddar Mappasomba (PKS, PBR, PD, PPDI, PPDK) dengan 31,18% suara.

Agustus

Pemenang: Fauzi Bowo dan Prijanto (PPP, PD, PDIP, Partai Golkar, PDS, PBR, PBB, PPNUI, PPDK, PKPB, PPDI, PBSD, PPIB, Partai Merdeka, PKB, PAN, PPD, Partai Patriot Pancasila, PKPI, dan Partai Pelopor) dengan 57,87% suara
Artikel utama: Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta 2007.

September

Pilkada 2006

Januari

Calon: Ahmad Saleh-Tetep Abdullah (PAN, PKS dan PBB), Tatang Farhanul Hakim-Hidayat (PPP), Harun Alrasyid-Atjep Adang R (Golkar, PKB), Aden Hermawan-Kiwaja (PDI-P)
Pemenang: Tatang Farhanul Hakim-Hidayat
Sumber: [1] [2]
Calon: Yusuf Paddong-Muisthahir, Bandjela Paliujju-Ahmad Tjahja, Ruly Lamadjido-Sudarto, Aminuddin Ponolele-Shahabudin Mustafa
Pemenang: ?
Sumber: [3]
Calon: Ir. H. Wasidi Swastomo, M.Si.-Drs. Ade Barkah Surachman, M.Si (Golkar), H. Dadang Rachmat, S.E., M.Si.-Drs. Kusnadi Sundjaya, M.M (PDI-P), Drs. Cecep Muchtar Soleh, M.M.-Drs.Dadang Sufianto, M.M. (PKS-Demokrat), Ir.Yayat Rustandi-Titin Suastini, S.H. (PPP)
Pemenang: ?
Sumber: [4]

[sunting] Februari

Calon: Tengku Azmun Jaafar-Rustam Effendi, Annas Badrun-Ahmad Fauzi Hassan, Marwan Ibrahim-Rusdaryanto
Pemenang: ?
Sumber: [5]

[sunting] Maret

[sunting] April

[sunting] Mei

[sunting] Juni

[sunting] Juli

[sunting] Agustus

[sunting] September

[sunting] Oktober

[sunting] November

[sunting] Desember

Artikel utama: Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 2006.

Daerah Pilkada 2005


April

Juni

Pemenang: Syaukani Hassan Rais dan Samsuri Aspar (Partai Golkar) dengan 60,85% suara.
Pemenang: Rustriningsih dan M. Nashiruddin A.M. (PDIP) dengan 77% suara.
Pemenang: TB A'At Syafaat dan Rusli Ridwan (Partai Golkar, PAN, PPP) dengan 51% suara.

[sunting] Juli

[sunting] Agustus

[sunting] September

[sunting] Oktober

[sunting] November

[sunting] Desember