Rabu, 22 Oktober 2008

Zubair Goo0dWill Watua PP Muhammadiyah Dukung Mega Hidayat


JAKARTA, RABU - Keinginan untuk menduetkan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dengan Ketua MPR Hidayat Nurwahid, kini mulai dihembuskan. Wacana ini digagas oleh Direktur Pro Mega Center Mochtar Muhammad, Selasa (21/10) kemarin.

Rencana menduetkan dua tokoh karismatik dari kalangan nasionalis--religius ini, mendapat dukungan dari salah seorang ulama Muhammadiyah, yang tak lain Wakil Ketua PP Muhammadiyah, Goodwil Zubair.

Zubair menyatakan bila Megawati dan Hidayat Nurwahid bisa disandingkan pada Pilpres 2009 nanti, diyakini bisa meraup suara signifikan. Keduanya sama-sama memiliki Partai Politik yang kuat.

"Sangat luar biasa bila mereka bersatu. Saya acungkan jempol wacana yang digagas ini Pak Mochtar. Saya yakin, Koalisi kebangsaan ini bisa pilih tanding di Pemilu 2009. Kita perlu sosok Ibu Mega dan Pak Hidayat. Keduanya sudah dikenal luas di akar rumput," kata Zubair kepada para wartawan kemarin.

Zubair juga meyakini, duet Mega-Hidayat bisa menyelesaikan persoalan bangsa dan krisis berkepanjangan yang dihadapi bangsa Indonesia. Zubair kemudian menyarankan agar PDIP dan PKS segera menjalin komitmen, membicarakan untuk melakukan koalisi sejak dini.

"Masyarakat di akar rumput respect terhadap keduanya. Apalagi, pak Hidayat itu orang Muhammadiyah juga. Jadi, kenapa kita tak memberikan restu," katanya.

Direkter Pro Mega Center, Mochtar Mohammad menjelaskan wacana Mega-Hidayat menguat di PDIP. Bisa saja, dikemudian hari duet ini bisa menjadi kenyataan.

"Siapa bilang kita tak bisa bersatu dengan PKS? Kami, di PDIP akan menggarap kalangan menengah bawah sementara PKS yang garap kalangan menengah ke atas. Bila duet ini menjadi kenyataan, koalisi PDIP--PKS saya yakin akan menang dalam Pemilu," kata Mochtar.

Berbagai survey yang dilakukan, jelasnya, Megawati-Hidayat Nurwahid menjadi kandidat capres dan cawapres layak jual. Kini, kata Mochtar, hanya tinggal menunggu keputusan DPP PDIP, dengan siapa Megawati akan disandingkan.

"Bagi saya, keduanya (Mega-Hidayat) juga sama-sama punya modal sosial serta politik yang besar. Dan saya yakin Mega- Hidayat bisa mengalahkan duet SBY-JK seandainya mereka kembali berduer," ujarnya.

Pro Mega Center, kini sedang mematangkan duet Mega-Hidayat. Termasuk, lobi-lobi dengan para petinggi DPP PDIP untuk bersama melakukan lobi politik agar duet itu biasa terealisasi dalam Pilpres 2009 mendatang.

Menurut sumber yang berhasil dihimpun, baik kalangan PDIP dan PKS sudah saling melakukan lobi politik. Kedua kubu itu intensif untuk melakukan pertemuan, terutama untuk menggolkan duet Mega Hidayat.

Ketua DPP PKS Zulkifliemansyah saat dikonfirmasi wartawan tidak membantah kemungkinan Mega berduet dengan Hidayat Nurwahid.

"Meski keputusan majelis syuro partai yang menyatakan PKS baru bicara soal capres usai legislatif, namun duet Mega-Hidayat sudah menjadi gagasan. Yang jelas, dalam membangun sebuah koalisi itu, dalam dunia politik itu bisa saja terjadi dan dengan siapapun. Apalagi PKS juga mengusung sebuah koalisi kebangsaan,” katanya.

Akankah rencana B, seperti yang diungkap Ketua Dewan Pertimbangan Partai Taufik Kiemas, melakukan koalisi merah-putih ini akan terwujud?

Minggu, 12 Oktober 2008

Pilkada dalam Bahaya?

“Pemerintah diharapkan dapat menjaga situasi daerah tetap kondusif,” ujar Penjabat (Pj) Bupati Gunungkidul Ir Djoko Budhi Sulistyo kepada Antara awal April lalu. Apa yang diungkapkan Djoko setidaknya bisa memberi gambaran sekaligus kekhawatiran terhadap situasi politik daerah akhir-akhir ini.

Memang, gairah politik tingkat lokal semakin memanas mendekati bulan Juni nanti. Saat itu, Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) langsung dijadwalkan akan mulai diselenggarakan di Indonesia. Seperti telah kita ketahui, ekperimentasi demokrasi di level daerah ini mulai mendapatkan legitimasi semenjak lahirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada pengujung September 2004 lalu. Undang-undang tersebut lahir sebagai revisi atas UU Pemerintah Daerah sebelumnya (UU No. 22/1999). Pada pasal 24 UU No 32/2004 tersebut dinyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah diharuskan dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.

Selanjutnya pada Pasal 233 Ketentuan Peralihan disebutkan bahwa untuk daerah yang kepala daerahnya mengakhiri masa jabatan pada tahun 2004 sampai Juni 2005, pelaksanaan Pilkada akan diselenggarakan secara langsung pada Juni 2005.

Dengan hadirnya naskah UU Pemda yang baru ini, sebanyak 173 kabupaten/kota dan 8 provinsi harus bersiap menghadapi pilkada langsung pada Juni 2005. Sepanjang tahun 2005 sendiri, termasuk yang mengadakan pilkada bulan Juni, ada 11 provinsi dan 215 kabupaten/kota yang harus mengadakan pilkada secara langsung.

Kendala Subtantif dan Teknis


Persoalan yang saat ini muncul dalam wacana politik pilkada adalah kekhawatiran atas gagalnya penyelenggaraan pilkada langsung untuk bulan Juni 2005. Mengikuti Ray Rangkuti dalam tulisannya di Koran Tempo, 6 April 2005, setidaknya ada dua kendala besar yang siap mengganjal pelaksanaan pilkada Juni 2005, yaitu kendala subtantif dan kendala teknis.

Pertama, kendala subtantif. Kendala subtantif utama adalah perangkat peraturan pelaksanaan pemilihan yang belum sepenuhnya tersedia. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap salah satu pasal dalam UU No32/2004 mengubah subtansi pilkada. Perubahan itu berupa hilangnya wewenang DPRD dalam pilkada dan diperkenankannya partai politik tanpa kursi di DPRD mencalonkan calon pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Perubahan ini membawa dampak bagi PP No.6/2005 dan SK KPUD yang berkenaan dengan tata pendaftaran pasangan calon. Jika tidak segera direvisi, maka PP N06/2005 ini tidak dapat diberlakukan karena legitimasinya lemah.

Kedua, kendala teknis. Ada banyak kendala teknis pilkada Juni nanti. Yang utama adalah masalah dana. UU No. 32/2004 mengatakan bahwa pendanaan pilkada yang dilaksanakan tahun 2005 dibebankan pada APBN dan APBD. Estimasi kebutuhan dana Pilkada 2005 mencapai Rp 1,255 triliun. Itu belum termasuk dana khusus untuk daerah pemekaran yang mencapai Rp 116,428 miliar. Selain itu, pemerintah pusat sendiri juga masih menyerap dana sebesar Rp 185,269 miliar untuk kegiatan dukungan fasilitasi pilkada. Dari semua kebutuhan itu, dana pilkada yang harus ditanggungkan pada APBN diperkirakan mencapai Rp 929,568 miliar.

Namun, menjelang Juni 2005, mayoritas daerah belum mengantungi dana. Janji pemerintah mengucurkan Rp 400 juta pun tak kunjung tersalurkan ke rekening KPUD-KPUD di daerah. Juga di sebagian daerah, dana APBD belum sampai ke KPUD. Padahal KPUD adalah penyelenggara sah pilkada menurut undang-undang.

Dengan mepetnya waktu persiapan pilkada, belum tersedianya dana akan mengakibatkan pembelanjaan logistik tidak berjalan. Padahal dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk mencetak kartu pemilih, formulir, surat suara, dan pembentukan KPPS, PPS, dan PPK. Sebagai pengandaian saja, untuk mencetak dan mendistribusikan surat suara, normalnya dibutuhkan waktu 30 hari. Waktu 30 hari itu sudah dihitung di luar waktu pelaksanaan tender. Maka, jika dana tidak segera cair, pelaksanaan pilkada akan sangat terganggu, bahkan terancam batal. Kondisi ini terutama membayangi daerah-daerah miskin yang APBD-nya rendah.

Ray Rangkuti juga menjelaskan bahwa kendala teknis makin bertambah dengan adanya tuntutan di beberapa daerah, di mana masyarakat dan partai politik mendesak KPUD memperpanjang jadwal pendaftaran pasangan calon. Ini terjadi terutama setelah dikabulkannya gugatan ke Mahkamah Konstitusi soal pencalonan pasangan. Hal itu memang konsekuensi dibatalkannya Ayat 1 Pasal 59 UU No 32/2004 itu oleh Mahkamah Konstitusi. Namun, diperpanjangnya pendaftaran pasangan calon tidak hanya mengubah peta politik daerah, tetapi sekaligus juga semakin membuat mulurnya beberapa tahapan pilkada.

Persoalan lain yang juga sangat penting adalah sosialisasi pilkada. Sejauh ini masih banyak daerah yang program sosialisasinya masih terhambat dan tidak tepat sasaran. Hal ini membuat pelaksanaan pilkada sangat terganggu. Masyarakat, selaku pemilih, seharusnya mendapat informasi yang benar tentang persiapan dan pelaksanaan pilkada di daerahnya. Termasuk, informasi mencatatkan dirinya sebagai pemilih melalui kartu pemilih.

Kualitas Demokrasi di Daerah Akan Rendah?



Meski berbagai kendala menghadang, pemerintah tetap bersikukuh untuk melaksanakan pilkada sesuai jadwalnya. Pemerintah juga tak khawatir soal pendanaan pilkada. Mendagri Moh Ma’ruf mengatakan bahwa pemerintah bisa menggunakan dana darurat seperti yang diatur dalam UU 17/2003 tentang Keuangan Negara. Argumentasi ini sebenarnya lemah karena dana darurat dalam UU tersebut tidak pernah menyebutkan pemilihan umum sebagai kondisi darurat.

Desk Pusat Pilkada, organ yang dibentuk Mendagri untuk memonitoring pilkada, sejauh ini mengklaim hanya 28 kabupaten/kota yang belum siap menggelar pilkada bulan Juni. Namun, sampai minggu pertama April ini juga, dari 145 kabupaten/kota yang menyatakan siap itu, baru 13 daerah yang sudah membuka pendaftaran calon pasangan. Adapun soal dana, baru 69 kabupaten/kota yang sudah mengesahkan APBD untuk pilkada. Gambaran ini menunjukkan bahwa dalam jangka waktu dua bulan yang tersisa, masih banyak daerah yang sesungguhnya belum terlalu siap menyelenggarakan pilkada akibat mepetnya waktu persiapan.

Karena itu, pelaksanaan pilkada yang dipaksakan sesuai jadwal, meski dalam persiapan yang amburadul, akan tetap menimbulkan risiko-risiko tertentu. Salah satu risiko yang paling harus diwaspadai adalah terjadinya konflik politik lokal di luar aturan perangkat hukum yang ada. Hal ini bisa terjadi sebagai konsekuensi logis tidak siapnya struktur penyelenggaraan pilkada. Jika ini terjadi maka eksperimentasi demokrasi tingkat lokal akan mengalami kegagalan.

Di samping itu, carut marutnya persiapan serta perangkat dan peraturan pilkada juga bisa menyebabkan terbukanya peluang mencederai demokrasi. Soal ini kita perlu menyebut politik uang. Politik uang yang seharusnya dihapus dalam proses demokrasi daerah akan muncul lagi seandainya masyarakat tidak banyak menerima informasi soal tahap dan perkembangan pelaksanaan pilkada di daerahnya. Terutama jika masyarakat tidak tahu soal peta politik yang ada dalam pilkada itu.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pilkada akan segera muncul jika pilkada hanya menimbulkan konflik baru yang berlarut-larut. Indra J Piliang, pengamat politik dari CSIS, dalam sebuah tulisannya di Kompas, 29 Maret 2005, bahkan mencurigai pemerintah melaksanakan pilkada hanya untuk dirinya, bukan untuk masyarakat di daerah. “Penyederhanaan persoalan pilkada ini oleh pemerintah menunjukkan kepercayaan diri yang besar, sementara sampai hari ini pun sosialisasi UU No. 32/2004 belum sampai ke tengah-tengah masyarakat. Kalau sudah demikian, pilkada secara langsung sebetulnya untuk siapa? Yang jelas, masyarakat tetap akan menjadi obyek politik dari agenda-agenda yang disusun secara elitis di Jakarta. Pilkada langsung yang diselenggarakan secara terburu-buru, secepat mungkin, adalah bentuk baru dari mobilisasi politik hiruk-pikuk yang sudah menjadi ciri khas dari elite politik dan pemerintahan Indonesia....” tulisnya.

Melihat peta persoalan seperti itu, bisa dikatakan pelaksanaan pilkada yang paling dekat, yaitu pilkada Juni 2005, berada dalam bahaya jika terus dipaksakan. Ini karena carut-marutnya persiapan dan pelaksanaan pilkada. Selebihnya, dengan persiapan semacam itu, kemungkinan besar akan memunculkan proses dan hasil pilkada yang kualitasnya rendah.