Rabu, 02 Juli 2008


PDF Cetak E-mail

FENOMENA JK PADA PILKADA SULSEL

Oleh Irvan Mawardi

Setelah melewati proses yang berbelit dan menegangkan, masa depan hasil pilkada Sulsel akhirnya mendapatkan kepastian. Adalah salinan putusan Mahkamah Agung yang memproses Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Komisi Pemilihan Umum Sulsel yang memberi kepastian pemenang pilkada Sulsel. Mahkamah Agung menegaskan bahwa PK yang diajukan KPU Sulsel diterima sambil merevisi kekeliruan yang terjadi dalam putusan sebelumnya. Sebagaimana diketahui pilkada Sulsel mengalami ketidakpastian setelah MA menerima gugatan pasangan Amin-Mansyur Ramli (ASMARA) yang menggugat keputusan KPU Sulsel yang memenangkan pasangan Syahrul-Agus Nu’mang (SAYANG). Namun KPU Sulsel mengajukan PK atas putusan MA tersebut. Dan akhirnya MA pun menerima PK yang diajukan KPU Sulsel dan menyatakan bahwa gugatan yang diajukan ASMARA berupa adanya dugaan kecurangan dalam penghitungan suara yang dilakukan oleh kubu SAYANG hanya berdasarkan asumsi bukan atas data resmi.

Saat ini kubu SAYANG sedang menanti SK dari Presiden tentang pelantikan pasangan yang merupakan kader Golkar namun didukung oleh PDIP, PAN dan PDK. Konon pelantikan akan diadakan di lapangan terbuka dan diperkirakan menelan biaya sekitar Rp. 200 juta. Terlepas itu semua, proses panjang pilkada Sulsel menarik dicermati khususnya dalam konteks peran dan pengaruh politik Jusuf Kalla (JK). Tidak dapat dipungkiri bahwa agregasi dan dinamika politik Sulsel tidak bisa dilepaskan dari sosok JK. Selain karena JK adalah wakil presiden, posisi sebagai ketua umum Golkar juga menentukan skalasi politik di Sulsel. Pertimbangannya sederhana, secara tradisional, Sulsel merupakan daerah basis Golkar dan menjadi tolak ukur Golkar di kawasan Indonesia Timur.

Dalam konteks representasi kekuatan politik, dinamika pilkada Sulsel sesungguhnya cukup membuat Golkar (baca DPP) kebingungan. Betapa tidak, semua kader terbaiknya maju dalam pilkada dan saling berhadapan. Amin Syam (Ketua umum DPD Golkar Sulsel) berpasangan dengan Mansyur Ramli (Kader Golkar-ipar JK). Keduanya diusung oleh Golkar, PKS dan partai kecil lainnya. Sedangkan Syahrul Yasin Limpo (Ketua Kosgoro Golkar Sulsel, kader Golkar) berpasangan dengan Agus Nu’man (Sekretaris DPD Golkar Sul-sel dan Ketua DPRD Sulsel dari fraksi Golkar). Keduanya diusung oleh PDK, PAN dan PDIP. Akhirnya sesuai dengan prediksi, secara faktual terjadilah All Golkar Final. Kondisi ini tentunya memposisikan JK dan DPP berhati-hati menentukan sikap. Secara formal memang JK mesti all out mendukung ASMARA, tapi di sisi lain, tidak bisa menelantarkan begitu saja pasangan SAYANG. Hal ini disadari oleh JK sebab kedua pasangan memiliki massa yang riil. Syahrul memiliki kekuatan massa di seputar kawasan Makassar, Gowa dan seputar Sulsel bagian Selatan. Sementara Amin juga tidak kalah kuatnya karena memiliki simpul massa yang cukup kuat di kawasan Bone-Soppeng-Wajo dan sekitarnya. Sehingga JK pun harus bisa menerima kenyataan ketika dua kubu saling mengklaim mendapat dukungan dari dirinya.

Politik dua Kaki ala JK

Dalam posisi yang demikian, JK tentu sadar bahwa meninggalkan salah satu di antaranya adalah resiko. Sebab untuk menatap dan running di pemilu 2009, basis massa di Sulsel harus tetap terjaga. Ketidakcermatan dalam memberi dukungan akan menimbulkan antipati diantara keduanya. Maka muncullah fenomena politik dua kaki. Strategi ala JK ini dapat direkam dalam beberapa catatan. Pertama, jauh hari sebelum kampanye dimulai, berbagai poster dan baliho yang dipasang oleh ASMARA maupun SAYANG menunjukkan kedekatan mereka kepada JK. Syahrul misalnya, tidak segan-segan memasang baliho yang menunjukkan kemesraan Syahrul sedang main golf dengan JK. Begitu juga dengan Amin. Berbagai poster dan baliho yang menunjukkan dukungan JK ke Amin dipasang di berbagai tempat strategis. Namun perang dukungan lewat baliho itu dibiarkan saja oleh JK. Kedua, kontroversi majunya Agus Nu’mang mendampingi Syahrul. Awalnya, Agus sebenarnya ingin mendampingi Amin yang diusung partai Golkar, mengingat Agus adalah sekretaris DPD Golkar Sulsel. Namun sepertinya JK lebih menghendaki Mansyur Ramli mendampingi Amin dan pilihan itu didukung mayoritas oleh DPD II Golkar. Agus tidak bisa menerima begitu saja pilihan itu. Merasa tidak mungkin lagi diakomodir Golkar, Agus pun banting stir dan mencoba merapat ke Syahrul. Ternyata Syahrul memang sudah lama menanti Agus. Akhirnya kedua pasangan ini memastikan maju. Secara normatif, langkah yang diambil Agus cukup berani, sebab seorang pengurus teras Golkar yang maju dalam pilkada dengan tidak melalui partai Golkar mengandung resiko pemecatan. Namun ini tidak terjadi dalam posisi Agus. Ada kesan DPP Golkar ketika itu tidak terlalu keras dengan langkah Agus, sehingga cukup mereposisi Agus menjadi salah satu anggota Bidang di DPD I Golkar Sulsel. Sekali lagi pilihan ini menunjukkan adanya “perlindungan” DPP terhadap pasangan Sayang.

Ketiga, memasuki masa kampanye, sebagaimana biasanya ketua umum partai turun ke daerah menjadi jurkam. Demikian halnya dengan JK, beliau menyempatkan pulang kampung untuk mengkampanyekan pasangan ASMARA. Namun tidak seperti biasanya ketua umum partai yang mendukung total kandidat dari partainya, JK pada kesempatan kampanye terbuka di anjungan pantai Losari di tengah ribuan pendukung ASMARA justru meminta massanya mendukung kandidat sesuai dengan hati nurani. Seperti yang sering disinggung oleh Akbar Tanjung bahwa kasus kampanye itu menunjukkan JK tidak all out mendukung pasangan ASMARA yang secara jelas didukung oleh Golkar.

Keempat, ketika hari H pilkada tepatnya di saat Lingkaran Survey Indonesia merilis hasil Quick Qount mereka yang menunjukkan kemenangan tipis untuk pasangan SAYANG, maka JK dan beberapa jajaran DPP tidak segan-segan menyampaikan selamat kepada pasangan Sayang. Kubu pasangan ASMARA berang. Mereka menganggap sikap DPP yang mengakui hasil sementara pilkada yang diumumkan lewat Quick Qount menunjukkan ketidakberpihakan JK dan DPP terhadap pasangan Golkar sendiri.

Beberapa indikator tersebut secara nyata menunjukkan ketidakseriusan JK dan DPP dalam mendukung ASMARA. Sementara kubu ASMARA pun memahami realitas itu. Akhirnya terjadilah pembangkangan yang ditunjukkan oleh beberapa statement Amin Syam yang menunjukkan kekecewaan terhadap JK. Bahkan Amin Syam mangkir pada sebuah pertemuan di Jakarta yang mestinya dihadiri Amin selaku ketua DPD 1 Golkar. Puncak kekecewaan kubu ASMARA adalah dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung atas SK KPU Sulsel yang menetapkan pasangan SAYANG selaku pemenang pilkada Sulsel. Dalam materi gugatannya, kubu ASMARA menganggap pasangan SAYANG melakukan penggelembungan suara di beberapa kabupaten seperti Bone, Gowa dan Tanah Toraja. Pertarungan pilkada pun berlanjut di Mahkamah Agung.

JK di balik MA?

Kalau ingin dicermati sesungguhnya politik dua kaki ala JK semakin mudah ditebak dalam proses persidangan gugatan Pilkada Sulsel di Mahkamah Agung. Merasa bahwa kubu ASMARA cukup kecewa dengan sikap JK dan DPP terhadap proses pilkada Sulsel, maka JK pun merasa harus menunjukkan pemihakan yang tegas terhadap Amin. Hal ini dilakukan JK untuk tetap memelihara hubungan baik JK dengan Amin. Walau bagaimanapun secara de facto Amin adalah ketua umum DPD I Golkar dan memiliki pengaruh dan basis tradisonal di Sulsel khususnya di Bone. Mengecewakan Amin akan cukup berdampak pada dukungan JK di Sulsel. Maka untuk menjaga hubungan baik dengan Amin, mau tidak mau JK mesti “menolong” agar gugatan Amin diterima oleh MA. Hasilnya? Seperti diketahui dan mengejutkan publik nasional, ternyata MA menerima gugatan yang diajukan oleh ASMARA dan meminta KPU Sulsel melaksanakan pilkada ulang di beberapa kabupaten yang dianggap terjadi kecurangan. Meski tidak memuaskan sebab secara eksplisit MA tidak menganulir SK KPU Sulsel yang menetapkan kemenangan SAYANG, namun kubu ASMARA meyakini putusan itu memberi harapan untuk bisa menang. JK pun memberi simpati ke kubu ASMARA dengan menyebut bahwa putusan MA harus dihormati dan ditaati semua pihak sebab negara ini adalah negara hukum.

Namun di sisi lain, kubu SAYANG sangat kecewa dan menolak hasil putusan MA tersebut. Mereka menganggap MA telah merampok kemenangan yang telah diraih oleh kubu SAYANG secara fair lewat pilkada. Tak pelak, demonstrasi massa pun tiada hentinya berlangsung di Makassar. Kubu SAYANG secara bergantian turun ke jalan menolak pilkada ulang sebagaimana yang diperintahkan oleh putusan MA. Kubu SAYANG pun menuding bahwa JK berada di balik putusan MA yang kontroversial itu. Maka JK pun menjadi sasaran pelampiasan kekecewaan massa SAYANG. Berbagai bunyi spanduk dan poster mencaci maki serta menunjukkan ketidakpercayaan mereka ke JK. Puncaknya ketika tanggal 19 Januari, hari yang semestinya pasangan SAYANG dilantik namun tidak terjadi pelantikan, maka massa SAYANG pun menyerang showroom mobil milik JK serta berusaha masuk di kediaman rumah JK.

Menyadari massa SAYANG sudah tidak terkendali dan simpati mereka ke JK berada di titik paling rendah, maka JK tentunya tidak ingin kehilangan simpati. Sekali lagi JK menghitung betul bahwa pengaruh Syahrul dan Agus di Sulsel cukup kuat. Tidak mungkin membiarkan kubu SAYANG melakukan delegitimasi terhadap dirinya secara terus menerus. Sehingga ketika skalasi aksi massa mencapai puncaknya, JK kemudian memanggil Syahrul dan menyampaikan sesuatu dan meminta Syahrul menenangkan massanya. Entah apa yang disampaikan oleh JK ke Syahrul, namun dalam pidato di hadapan ribuan pendukunganya, Syahrul menyampaikan bahwa dirinya sudah mendapat jaminan dari pemerintah pusat bahwa pasangan SAYANG akan dilantik paling lambat bulan maret dan meminta massanya menerima Andi Tanri Lamo sebagai caretaker Gubernur Sulsel. Namun bisa dipastikan materi yang disampaikan JK ke Syahrul tidak jauh dari sebuah jaminan bahwa proses PK yang saat itu diajukan oleh KPU Sul-sel akan berjalan sesuai dengan keinginan kubu SAYANG. Artinya JK memberikan keyakinan bahwa kubu SAYANG akan tetap menjadi pemenang pilkada Sulsel dengan akan diterimanya PK oleh Mahkamah Agung. Sekali lagi, JK ingin membuktikan keberpihakannya pada kubu Syahrul.

Satu pekan lalu komitmen JK memang terbukti. Hasil sidang PK oleh Mahkamah Agung mengukuhkan kemenangan SAYANG dalam pilkada Sulsel. Dan hubungan baik JK dengan kedua pasangan masih tetap terjaga dan cukup berimbang. Namun menarik dikaji, siapa sesungguhnya yang dikehendaki oleh JK untuk memimpin Sulsel untuk periode 2008-2013 yang di dalamnya ada tahun 2009 yang krusial? Jawaban pertanyaan ini menarik untuk melihat peta kekuatan JK di tahun 2009 serta mengungkap potensi yang akan menjadi kekuatan Golkar di Sulsel. Dalam hal ini pilihan JK ini tentu sudah bisa diamati sejak penentuan kandidat yang akan disung oleh Golkar ketika akan maju dalam pilkada Sulsel.

JK: Amin atau Syahrul ?

JK cukup menyadari bahwa perlu kekuatan dan generasi baru bagi mesin politik golkar dalam rangka konsolidasi pemilu 2009. Kondisi itu sebetulnya tidak memihak pada posisi Amin Syam. Selain Amin sudah cukup tua, alasan kesehatan juga menjadi hambatan dalam melakukan progresivitas mesin politik Golkar . Amin sudah dianggap lamban dan sudah lewat masa keemasannya. Namun di pihak Amin masih tetap yakin dan mampu untuk kembali maju. Dalam posisi ini, JK tidak mungkin menolak keinginan Amin sebab itu sama halnya melakukan perlawanan dan melahirkan musuh baru yang seharusnya menjadi kekuatan. Untuk tetap menghormati posisi Amin selaku gubernur incumbent dan ketua umum DPD I Golkar, maka direstuilah Amin untuk tetap maju. Namun untuk menang tunggu dulu, mesti dipertimbangkan, sebab kemenangan Amin belum tentu menjadi kekuatan baru bagi Golkar, tapi justru akan menambah banyak friksi di internal Golkar, khususnya kubu Syahrul yang secara riil memiliki pengaruh kuat di Golkar. Untuk tetap menghormati kubu Amin, maka direstuilah Mansyur Ramli untuk menjadi pasangan Amin. Sosok Mansyur secara nyata tidak memiliki daya tawar yang kuat serta akseptabilitas di tengah masyarakat Sulsel. JK cukup menyadari hal itu, bahwa kapasitas intelektual tidak cukup memadai untuk menang dalam kompetisi politik.

Sebaliknya, untuk menjaga darah muda Golkar di Sulsel, maka didesainlah pasangan Golkar muda dengan duet Syahrul dan Agus Nu’man. Sebuah pasangan yang menjanjikan progresivitas. Dan JK nampaknya cukup puas dan bangga dengan pasangan ini. Bagi JK inilah the next generation Golkar di Sulsel. Soal isu regenerasi Golkar di Sulsel memang menjadi momentum pada pilkada Sulsel. Artinya, bila pasangan ASMARA yang menang, maka masa depan Golkar cukup suram. Sebaliknya, jika SAYANG yang menang, maka Golkar masih optimis bisa melakukan konsolidasi. Hal ini juga menjadi pertimbangan partai yang merupakan kompetitor Golkar d Sulsel. Salah seorang kader partai non Golkar yang mendukung ASMARA menyebut bahwa pilihan mendukung Amin salah satunya adalah sebagai upaya untuk menghambat regenerasi di tubuh Golkar. Sebab kalau itu terjadi, maka dinamika politik di Sulsel cukup berimbang, tidak ada dominasi.

Saat ini SAYANG sudah mencapai kemenangan. mampukah JK meraih target politik melalui SAYANG dalam rangka regenerasi Golkar di Sulsel dan melakukan konsolidasi di tahun 2009 ?. Yang pasti tugas berat JK saat ini adalah berusaha mempertemukan Amin dan Syahrul yang merupakan kader kuat Golkar di Sulsel. Rekonsiliasi di antara keduanya merupakan modal terbaik bagi JK dan Golkar ke depan, khususnya di Sulsel. Mungkin itu.

Tidak ada komentar: