Sabtu, 26 Juli 2008

Pilkada Jatim (1)

Mataraman Itu Kental, tetapi Gagal
Jumat, 25 Juli 2008 | 01:38 WIB 

Oleh BIMA BASKARA dan BUDIAWAN SIDIK ARIFIANTO

Pola kultur Mataraman yang masih ada sampai sekarang tentu memengaruhi cara masyarakat wilayah ini memandang kondisi sosialnya, termasuk terhadap calon pemimpin Jatim yang berlaga di ajang pemilihan gubernur 23 Juli lalu.

alon gubernur yang memiliki kedekatan sosiokultural dengan masyarakat Mataraman lebih ”dimudahkan” dalam urusan merebut hati pemilih di daerah ini. Padahal, bentangan Mataraman merupakan wilayah kultural basis dukungan bagi trio S, Soenarjo, Soekarwo, dan Sutjipto. Soenarjo yang diusung Partai Golkar dan Soekarwo (PAN, Partai Demokrat dan PKS) sejak awal sudah intensif bersaing di wilayah yang pemilihnya paling besar (mencapai 27 persen dari total 29 juta pemilih) di seluruh Jatim (Priyatmo Dirdjosuseno, 2008).

Menurut Priyatmoko Dirdjosuseno, pengamat politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, Mataraman juga menjadi basis utama Soetjipto-Ridwan Hisjam dari PDI-P. Hasil prediksi Kompas-SCTV menunjukkan, pasangan SR yang tidak lolos menuju putaran kedua pilkada nanti berhasil meraih suara terbesar di Mataraman.

Sejak Pemilu 1955 hingga 2004, partai nasionalis memang menguasai daerah luas tlatah Mataraman itu. Pokoknya Mataraman kental sekali warna nasionalisnya.

Monggo, mas, ”inggih”

Banyak orang sering menganggap Jawa Timur itu identik dengan sapaan rek dan cak bagi kaum prianya. Namun, jangan salah, ada juga sebagian orang Jatim yang terbiasa disapa dengan sebutan mas dan tak asing dengan kata-kata monggo atau inggih.

Ya, kebiasaan ber-inggah-inggih alias ber-iya-iya, saling mempersilakan dengan memakai istilah monggo, dan sapaan dengan istilah mas masih banyak digunakan di wilayah Jatim bagian barat yang dikenal sebagai kawasan Mataraman. Istilah Mataraman— menurut dosen Universitas Negeri Malang, M Dwi Cahyono— terkait dengan budaya Mataraman sebagai bagian subwilayah sosiokultural Jatim.

Lingkup subwilayah yang dimaksud merupakan eks wilayah Karesidenan Madiun dan Kediri. Lebih rinci, wilayah tersebut terbagi menjadi Mataraman Kulon (Kabupaten Pacitan, Ngawi, Magetan, Ponorogo) dan Mataraman Wetan (Nganjuk, Trenggalek, Tulungagung, Kota dan Kabupaten Kediri, Blitar, dan Madiun).

Pembagian dua wilayah Mataraman berkaitan dengan erat dan longgarnya budaya Jawa di wilayah bersangkutan. ”Kepekatan sosiokultural Jawa Tengah lebih bisa dijumpai di Mataraman Kulon ketimbang Mataraman Wetan,” ujar Dwi. Mataraman Wetan menjadi kawasan yang lebih terbuka untuk migran sehingga corak sosiokultural Jawa dan Islam di wilayah itu relatif bersentuhan dengan sosiokultural lain. Sosiokultural Mataraman Wetan bersentuhan corak budaya Hindu, Buddha, Kristen, dan kolonial seperti di wilayah Arek dan Pandalungan.

Kendati demikian, secara umum, masyarakat Jatim Mataraman memiliki produk budaya yang tak berbeda dengan komunitas Jawa di Surakarta. Mereka—merujuk pada penelitian yang pernah dilakukan Clifford Geertz pada 1960—banyak dipengaruhi model sosiokultural Jawa Tengah. Pola-pola aristokrasi, keselarasan, keseimbangan, dan penuh simbol juga menjadi ciri kehidupan mereka.

Pola bahasa Jawa yang mereka gunakan mendekati kehalusan bahasa masyarakat Jawa di masa keemasan Kerajaan Mataram. Pola bercocok tanam maupun selera berkesenian yang dianut juga mirip dengan pola masyarakat di Surakarta dan Yogyakarta. Mereka banyak menggeluti ketoprak, campur sari, reog, tayub, wayang kulit, dan wayang orang. Masyarakat daerah Mataraman banyak hidup dari persawahan, perkebunan, hutan, dan perdagangan.

Menurut Bambang Martin Baru, Dekan FISIP Universitas Merdeka Madiun, kultur wilayah Mataraman itu secara umum adalah paternalistik. Kultur bapakisme ini jika dikaitkan dengan pilgub Jatim, para pemilih di wilayah Mataraman akan lebih melihat figur calonnya. ”Aspek calon sangat penting di wilayah ini. Bukan parpol yang dipentingkan karena parpol tidak berpengaruh secara signifikan,” katanya.

Bambang juga mengatakan, kultur bapakisme itu menggunakan cara pandang lebih pada perasaan atau emosional, bukan secara rasional. ”Jika mereka sudah yakin, akan loyal. Seperti contohnya pada masa Pak Karno, masyarakat di sekitar sini setia pada beliau,” ujarnya. Karena itu, lanjutnya, tiap-tiap kandidat calon gubernur harus pintar memetakan kondisi masyarakat di wilayah ini sehingga menimbulkan kesan ”pokoke” bagi warga.

Pendapat serupa diutarakan oleh Dwi Cahyono, sejarawan Universitas Negeri Malang, perihal sosok bapakisme bagi kultur Mataraman. ”Figur sangat penting bagi orang di daerah ini, terutama Mataraman Kulon (barat). Keturunan tokoh atau bibit suatu calon menjadi sangat penting,” katanya.

Oleh sebab itu, jika calon pimpinan ini bersih atau baik dari bibitnya, bisa menjadi pertimbangan bagi pemilih Mataraman. Apalagi jika calon ini berasal dari keturunan pemimpin terdahulu yang dihormati. ”Di wilayah Mataraman masih berlaku peribahasa Jawa, Trah ing kusuma rembesane madu. Jadi, calon gubernur yang berdomisili di daerah itu akan dapat dukungan dari masyarakat Mataraman,” tutur Dwi seraya mencontohkan kasus itu pada saat berlangsung pemilihan kepala desa di daerah Mataraman. ”Calon dari dukuh A akan mendapat dukungan penuh dari warga desa A itu,” katanya.

Reog dan warok

Begitu juga dengan pola aristokrasinya. Selain menghormati tokoh-tokoh formal yang berposisi sebagai pangreh praja, masyarakat Jawa di Mataraman, khususnya di Ponorogo, sampai sekarang juga memandang bahwa tokoh informal, seperti warok dalam reog dan ulama, juga memiliki status sosial penting di daerah ini.

Hingga sekarang, corak sosiokultural reog masih bisa ditemukan pada kehidupan masyarakat Ponorogo. Setiap satu Suro (satu Muharam) selalu dipentaskan reog bersama dengan prosesi kirab pusaka. Ini menjadi salah satu petunjuk bahwa secara kultural, masyarakat wilayah ini masih menjalankan pola-pola simbol yang menjadi ciri Mataraman.

Menurut Arif Rofiq, Kepala Seksi Penyajian Taman Budaya Jawa Timur, ketokohan warok sejak dulu hingga sekarang masih diakui di kalangan masyarakat Ponorogo. ”Dulu, orang mengenal warok sebagai pemilik reog yang berharta, juga memiliki pengaruh di masyarakat. Mereka disegani karena menguasai ilmu kanuragan,” ujarnya.

Saat ini, menurut Arif, nilai-nilai ketokohan warok itu masih disanjung masyarakat Ponorogo. Reog tetap hidup di seluruh Ponorogo meski tak lagi tokoh warok di sana. Sebagai kesenian, perjalanan reog pun terkait dengan perkembangan Islam di wilayah ini.

Prosesi reog yang awalnya merupakan simbol sindiran terhadap pemerintahan Raja Majapahit, kemudian juga banyak digunakan sebagai sarana syiar agama Islam. Tak heran kalau pada pemilu legislatif 2004, PDI-P berhasil meraih kemenangan di Ponorogo karena mampu mengambil hati massa Pondok Pesantren Gontor, sekaligus komunitas Insan Taqwa Illahi (Inti), yang merupakan organisasi para warok dalam reog.

Fenomena sosiokultural Mataraman, menurut ketua tim pengumpul sejarah dan tokoh masyarakat Trenggalek, Soeyono, juga masih terlihat di Trenggalek. Di kabupaten yang penduduknya hidup dari bertani dan berladang ini, setiap tahun diadakan ritual menanam kepala kerbau di bendung Bagongan. Tujuannya memohon pada yang kuasa agar di musim kemarau wilayah ini senantiasa diberkahi air untuk mengairi pertanian.

Merunut legenda, ritual tersebut merupakan bentuk penyebaran ajaran Islam yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat saat itu, yakni masyarakat dengan corak sosiokultural Hindu dan bertani.

Namun, pilkada tetap pilkada. Mataraman yang loyal terhadap kultur asli Jawa Mataraman nyatanya masih loyal dan malu-malu. Makanya, pilkada pada Rabu lalu, suara yang masuk juga malu-malu atau loyo. Yo opo!

(BIMA BASKARA/ BUDIAWAN SIDIK ARIFIANTO/Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: