Rabu, 02 Juli 2008

PEMILU DAN KESEJAHTERAAN; Kasus Indonesia dan Nepal PDF Cetak E-mail

Oleh : Irvan Mawardi

Perdebatan tentang relasi demokrasi dengan kesejahteraan akhir-akhir ini semakin menghangat. Format demokrasi yang saat ini berlangsung di Indonesia secara normatif prosedural sudah patut dibanggakan. Beberapa pilar demokrasi seperti kebebasan pers, pemilu yang fair, reformasi birokrasi, otonomi daerah dll secara prosedural sudah terkonsolidasikan. Pelaksanaan pemilu misalnya. Banyak pihak dari luar yang memberi apresiasi kepada Indonesia yang mampu melaksanakan pemilu 1999 secara demokratis tanpa ada insiden atau pertumpahan darah. Pemilu 2004 yang sekaligus memilih presiden secara langsung juga menjadi prestasi yang signifikan bagi demokrasi di Indonesia. Pasca pemilu 2004, dilanjutkan dengan serentetan pemilihan kepala daerah yang dilakukan dengan mekanisme pemilihan langsung.

Setelah pemilu 2004 dan satu tahun berjalannya pilkada langsung, maka praktek proseduralisme demokrasi mulai dipersoalkan. Beberapa pihak mengkritik pola dan bentuk pemilihan umum yang diklaim sebagai sistem yang demokratis. Beberapa catatan kritis dari persoalan pemilu dan pilkada selama ini adalah, pertama, pemilu dan pilkada cenderung memicu emosi di tengah masyarakat akibat nuansa kompetisi yang kuat. Kecenderungan ini mendorong munculnya bentrokan dan anarkhisme massa. Kedua, pelaksanaan pemilu dan pilkada cenderung tidak memberikan dampak yang signifikan kepada pemilih (rakyat). Rakyat cenderung menyimpulkan bahwa ada dan tidaknya pemilu tidak memiliki pengaruh terhadap perbaikan kondisi kehidupan mereka. Artinya produk hasil pemilu (Baca; Pemimpin) tidak mampu memihak kepada nasib rakyat yang secara nyata telah memilih mereka. Dalam konteks inilah pemilu sebagai instrumen demokrasi dipersoalkan karena tidak memiliki dampak signifikan atas peningkatan kesejahteraan rakyat.

Pemilu dan pilkada selama ini dianggap hanya menghabiskan biaya yang sangat signifikan. Jusuf Kalla menyebut bahwa pemilu Indonesia paling boros di dunia karena menghabiskan hampir 50 milyar $. Belum lagi biaya yang dikeluarkan oleh para kandidat dalam rangka kampanye dan memberi dukungan. Namun di sisi lain, biaya yang keluar tersebut tidak memiliki dampak apa-apa atas kesejahteraan masyarakat. Alih-alih menjadi sejahtera, pasca pemilu dan pilkada, rakyat sepertinya justru tambah menderita seiring dengan naiknya harga berbagai macam makanan pokok. Ada sesuatu yang paradoks ketika pemilu atau pilkada, yakni semua kandidat jor-joran menghabiskan dana untuk kampanye: Baliho, spanduk, iklan di TV dll namun di saat yang bersamaan rakyat yang akan memilihnya justru bingung dengan himpitan ekonomi yang semakin akut. Uang para kandidat dikeluarkan secara jor-joran untuk lobby dari hotel ke hotel, jamuan makan di sana-sini namun di saat yang bersamaan rakyat yang akan memilihnya justru terpaksa makan nasi aking. Inilah fenomena demokrasi yang kehilangan substansi.

Nepal sekali tiga uang

Ketika isu tentang relasi demokrasi dan kesejahteraan menjadi hangat di Indonesia, kebetulan saya mendapat kesempatan ikut pemantauan pemilu di Nepal. Sebagai negara yang sedang menuju alam demokrasi pasca runtuhnya kekuasaan monarki raja, maka pemilu pun menjadi tonggak awal demokratisasi. Sama halnya dengan Indonesia, kondisi perekonomian yang lemah harus berhadapan dengan arus demokratisasi. Selama proses pemilu berlangsung maka paradoks pun muncul yakni bertebarannya janji dan kemewahan para elit di tengah kemiskinan yang akut di level arus bawah. Empat hari lalu, saya berkunjung di sebuah desa kecil di kabupaten Parsa. Dalam perjalanan menuju ke lokasi desa tersebut, perasaan saya sudah terbawa ke alam pelosok. Betapa tidak, jalan yang kami lalui sekitar 25 km hanyalah jalan yang penuh gelombang tanpa aspal. Mobil yang kami tumpangi harus meliuk-liuk di deretan rumah kumuh yang saling berhimpitan. Bagi saya inilah pemandangan yang sangat menyentuh nurani. Sebuah potret kemiskinan yang nyata; penduduk nyaris satu rumah dengan binatang ternak mereka, anak kecil tanpa celana dan baju bergumul di tanah dengan penuh debu yang kotor, rumah penduduk yang hampir roboh, dan satu keluarga menyantap makanan yang di sampingnya seekor kerbau yang juga asyik menyantap makanan; Sebuah realitas kemiskinan yang akut.

Hanya sekitar 100 meter dari perkampungan kumuh dan miskin itu, sebuah partai politik beserta para kandidat dan jurkamnya sedang berorasi dan kalimat yang berapi-api. Tanpa disertai dengan rasa keprihatinan, para kandidat mengobral optimisme dan pepesan kosong yang didengar oleh para rakyat yang termangu dan dengan pandangan kosong. Anak-anak pun ikut meramaikan kampanye dengan perasaan tanpa harap. Ketika kami tanya, mereka hadir sekedar melihat keramaian. Tidak ada keyakinan bahwa pasca kampanye dan terpilihnya para pengobral janji itu, kehidupan mereka akan lepas dari jerat kemiskinan.

Inilah kelemahan politisi di Nepal dan juga di Indonesia dalam menyuguhkan demokrasi di hadapan rakyat yang tidak berdaya. Mereka menawarkan demokrasi dengan cara elit yakni memberi ruang yang terpisah antara ruang demokrasi dan kondisi riil rakyat. Padahal esensi dari demokrasi itu sesungguhnya adalah kehadiran dan kesejateraan mereka. Para politisi berkampanye dan menjual program dengan memberi jarak antar “kami” dan “kalian”. Akhirnya yang muncul adalah kampanye dan pemilu seolah milik para politisi dan kesengsaraan tetaplah di pangkuan rakyat yang menderita.

Dalam konteks pemilu Nepal, keterasingan rakyat miskin dari euforia politik para elit dalam pemilu diperparah oleh situasi politik yang tidak aman. Alih-alih mereka mendapat percikan kesejahteraan ketika proses pemilu berlangsung, namun justru yang muncul adalah ketakutan dan kecemasan akibat bom yang setiap saat meledak. Kelaparan kemudian dibumbuhi oleh kecemasan akibat pembunuhan yang setiap saat bisa menghampiri mereka. Mereka pun merasa khawatir keluar rumah hanya sekedar mencari asa untuk mendinamiskan perut yang kosong. Inikah demokrasi yang mesti mereka nikmati dengan kelaparan dan ketakutan. Pantaslah kemudian di warung-warung kopi yang kami temui masih banyak tersisa harapan dari rakyat kecil untuk kembali masa lalu; Memimpikan konsep atau sistem monarki dengan kekuasaan raja. Tentu ini juga realitas demokrasi, bukankah demokrasi berasal dari inisiasi rakyat itu sendiri.

Sepertinya demokratisasi di Nepal memang akan mengalami jalan yang terjal. Seperti halnya Indonesia yang mengalami jalan yang panjang dalam proses demokratisasi. Kemiskinan dan keterasingan menjadi problem mendasar karena pada prinisipnya demokrasi menghendaki rasionalitas dan kedewasaan bertindak. Namun rasionalitas tidak mudah hadir di tengah perut yang kosong. Kedewasaan tidak mungkin hadir di tengah ketidakpastian hidup. Nepal menghadirkan tantangan yang lebih berat selain kemiskinan yakni persoalan keamanan dan jaminan hidup. Inilah realitas yang terkadang terlupakan oleh pelaku proseduralisme demokrasi. Mereka memaksakan demokratisasi hadir di ruang yang hampa.

Dalam situasi seperti ini elit dan rakyat masih mungkin bertemu, tapi pertemuan itu murni atas nama pragmatisme. Ya pragmatisme politik akan selalu menjadi warna khas di negara yang mengalami keterpurukan ekonomi namun berada dalam situasi euforia demokrasi. Pragmatisme elit dan rakyat akan bersekutu atas nama demokrasi namun sekali lagi realitas itu semu karena tidak mampu menghadirkan substansi demokrasi. Money politik dan pemborosan para elit akan mewarnai alam demokratisasi Nepal ke depan, mungkin.....

Tidak ada komentar: