Selasa, 15 April 2008

Mimpi Pemimpin Baru Mengalahkan Loyalitas
Selasa, 15 April 2008 | 00:23 WIB

Indah Surya Wardhani

Pemilihan kepala daerah di Jawa Barat menunjukkan, konstelasi suara pada kantong pemilih tradisional banyak berubah. Harapan terhadap munculnya kepemimpinan alternatif menjadi fenomena yang demikian kuat, mengalahkan loyalitas kepada partai politik.

Fenomena itulah yang terekam dalam survei perilaku pemilih (exit poll) yang dilakukan Litbang Kompas terhadap pemilih, yang selesai mencoblos dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jabar Minggu (13/4). Mesin politik partai sulit mengandalkan basis massa pada Pemilu 2004 untuk memenangkan calon kepala daerah yang diusungnya. Figur calon kepala daerah menjadi lebih menarik daripada partai pendukungnya.

Meski demikian, koalisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) tercatat paling solid dalam menggiring pilihan individu pada calon yang diusungnya. Sebanyak 60,6 persen suara dari basis massa koalisi PKS dan PAN memang mengalir ke pasangan Heryawan-Dede (Hade).

Hanya 19,8 persen yang ”membelot” pada dua pasangan lain. Sebanyak 11,3 persen di antaranya memberikan suara kepada pasangan Agum Gumelar-Nu’man Abdul Hakim, dan 8,5 persen suara kepada pasangan Danny Setiawan-Iwan Ridwan Sulandjana.

Sebaliknya, suara dari basis massa koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Damai Sejahtera (PDS), dan Partai Bintang Reformasi (PBR), yang meski mayoritas (41,5 persen) memilih Agum-Nu’man, 34,4 persen lari ke pasangan lawan.

Pada basis massa PDI-P, 29,3 persen terdistribusi ke kubu lawan. Sebanyak 20,1 persen di antaranya tersalurkan ke pasangan Hade dan 9,2 persen ke Danny-Iwan. Demikian pula basis massa PPP, PKB, PBB, PKPB, PDS dan PBR, rata-rata sekitar 18 persen suara pendukungnya mengalir ke kubu Hade.

Hal serupa juga terjadi pada basis massa Partai Golkar dan Partai Demokrat. Hanya 28,8 persen dari massa partai ini yang memilih Danny-Iwan, yang diusung partainya. Sebagian besar justru terdistribusi ke kubu lawan, yakni Agum-Nu’man (21,3 persen) dan Heryawan-Dede (25,8 persen). Dinamika politik ini menunjukkan basis massa partai politik (parpol) tidak lagi menjadi penentu utama kemenangan pasangan calon.

Pasangan Heryawan-Dede, yang berdasarkan survei sebelumnya tak sepopuler kedua pasangan lainnya, juga memiliki modal suara terkecil. Di atas kertas, dari hasil Pemilu 2004 di Jabar, pasangan ini hanya mengantongi 17 persen suara. Kantong suara pun terutama hanya di wilayah perkotaan.

PKS yang menjadi motor koalisi ini memiliki basis massa pendukung yang sebagian besar tersebar di wilayah perkotaan, terutama di Kota Depok, Bekasi, dan Bandung. Pada Pemilu 2004 suara pemilih di ketiga kota itu dimenangi PKS.

Konstelasi lama

Suara pemilih yang tersedot ke pasangan Heryawan-Dede ini meruntuhkan konstelasi lama kekuatan parpol di Jabar. Berdasarkan Pemilu 2004, Partai Golkar merupakan partai pemenang dengan mengantongi 27,9 persen dari 20,7 juta pemilih. Disusul PDI-P yang meraih 17,6 persen, PKS (11,6 persen), dan PPP (10,6 persen).

Pudarnya loyalitas basis massa pada partai tidak hanya terlihat di wilayah perkotaan, tetapi juga di hampir seluruh wilayah Jabar.

Di wilayah Priangan Timur, misalnya, dari perolehan suara pada Pemilu 2004, wilayah ini merupakan kantong suara pemilih tradisional untuk koalisi PDI-P dan PPP. Dari 3,35 juta pemilih, kedua partai ini mengantongi 34 persen suara di wilayah yang meliputi Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kota Tasikmalaya, dan Kota Banjar. Bahkan, di atas kertas, koalisi tujuh parpol pendukung Agum-Nu’man berpotensi mendulang suara hingga 45 persen.

Namun, dari hasil survei, tidak seluruh massa koalisi partai yang dimotori PDI-P dan PPP itu mencoblos Agum-Nu’man. Sebanyak 24,2 persen suara dari pendukung koalisi tujuh parpol justru memberikan suaranya kepada Heryawan-Dede.

Sama halnya dengan Partai Golkar. Partai yang memenangi wilayah Priangan Timur, kecuali Kota Tasikmalaya, ini menguasai 28,3 persen suara. Setelah berkoalisi dengan Partai Demokrat, di atas kertas, pasangan Danny-Iwan diperkirakan dapat mendulang 32,6 persen suara.

Akan tetapi, hasil survei memperlihatkan sebagian besar basis massa koalisi Partai Golkar-Partai Demokrat di Priangan Timur justru memberikan suara ke kubu lawan. Hanya 29,3 persen basis massa koalisi Partai Golkar dan Partai Demokrat yang memberikan suaranya pada Danny-Iwan. Sementara itu, sebanyak 27,6 persen justru memberikan suara ke Agum-Nu’man dan 15,5 persen lainnya kepada Heryawan-Dede.

Melemahnya mesin politik partai juga terlihat di wilayah Cirebon, yang meliputi Kabupaten Indramayu, Majalengka, Cirebon, Kuningan, dan Kota Cirebon. Tahun 2004 wilayah ini merupakan basis massa PDI-P yang loyal. PDI-P yang menguasai 25,6 persen dari 3,31 juta pemilih di wilayah ini dan menjadi pemenang di Kabupaten Majalengka, Cirebon, dan Kuningan. Bahkan, pada 6 Januari 2008 PDI-P juga menjadi partai tunggal yang mengusung pasangan Subardi-Sunarya sebagai kepala daerah Kota Cirebon.

Tidak mengherankan, pasangan Agum-Nu’man diperkirakan dapat mendulang suara hingga 45 persen. Namun, berdasarkan hasil survei, tidak semua massa pendukung PDI-P di wilayah Cirebon memilih Agum-Nu’man. Sebagian suara massa koalisi ini (15 persen) justru diberikan kepada kubu Heryawan-Dede. Hal ini agaknya tidak terlepas dari popularitas Dede Yusuf, yang merupakan anggota DPR, yang mewakili Kabupaten Kuningan.

Surutnya loyalitas kepada parpol menunjukkan pertimbangan pemilih saat ini lebih pada figur calon. Setidaknya ini dinyatakan 61,8 persen responden yang beranggapan kemampuan calon kepala daerah merupakan pertimbangan utama dalam memilih pasangan calon. Sebanyak 20,4 persen menganggap partai pendukung merupakan alasan utama dalam menentukan pilihan.

Selain itu, kepemimpinan politik lama juga dianggap tidak membawa perubahan berarti. Tampilnya tokoh birokrat, seperti Agum Gumelar ataupun incumbent, seperti Gubernur Danny Setiawan dan Wakil Gubernur Nu’man Abdul Hakim, tidak lagi menjadi daya tarik pemilih. Faktor kepuasan bisa menjadi bumerang bagi kepemimpinan sebelumnya.

Setidaknya, hal ini tergambar dari pernyataan 57,8 persen responden exit poll ini yang mengaku tidak puas dengan kepemimpinan Gubernur Jabar sebelumnya. Hanya 31 persen yang menyatakan puas.

Di tengah kejenuhan itu, tampilnya pasangan Heryawan-Dede dalam ajang pemilihan Gubernur dan Wagub Jabar kali ini menarik perhatian. Pasangan ini mencitrakan wajah kepemimpinan baru yang diharapkan publik.
(Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: