Rabu, 23 April 2008

Pilkada Jabar dan Sumut

Hasil hitung cepat (quick count) yang dilakukan beberapa lembaga survei terhadap pemilihan gubernur (Pilgub) di Jawa Barat (Jabar) 13 April dan di Sumatra Utara (Sumut) 16 April menyimpulkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menang di kedua pilkada tersebut.

Apabila hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penghitungan resmi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), dapat dipastikan secara berturut-turut PKS berhasil merebut kepemimpinan di dua provinsi yang cukup bergengsi di Indonesia ini. Pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf di Jabar yang diusung PKS dan Partai Amanat Nasional (PAN) mampu mengungguli pasangan-pasangan lain yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Agum Gumelar dan Ahmad Nu'man; dan pasangan dari Partai Golkar, Deni Setiawan, dan Iman Sulandjana.

Di Sumut, calon dari PKS dan PPP dengan dukungan 9 partai kecil lain, Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho, juga mengalahkan 4 pasangan laindari partai-partai besar (Partai Golkar, PDIP, Partai Demokrat, PAN, dan Partai Kebangkitan Bangsa). Kemenangan PKS, terutama di Jabar, tentu sangat mengejutkan.

Dua kemenangan ini sejatinya mirip fenomena lonjakan suara partai berbasis kampus ini pada Pemilu 2004 lalu. Pilgub Jabar dan Sumut paling tidak memberikan pendidikan politik penting bagi para aktor politik dan konstituen di Indonesia tentang dana kampanye, koalisi, dan dukungan konstituen.

Dana bukan Segalanya

Selama ini kesan pilkada dalam hal penggunaan dana terkesan jorjoran. Ratusan miliar rupiah biasa dihabiskan untuk mengikuti pesta politik yang belum tentu mendapatkan kemenangan. Ini dapat dimaklumi karena di era modern saat ini biaya kampanye melalui iklan media cetak dan elektronik dapat mencapai miliaran rupiah.

Jika benar klaim tim kampanye Ahmad Heyawan-Dede Yusuf di Jabar bahwa dana yang mereka habiskan tidak lebih dari 800 juta rupiah, tentu ini merupakan angin segar bagi pihak yang ingin membangun daerah tetapi cekak dana. Minimnya dana pasangan muda itu bisa dipahami karena menurut informasi yang beredar di kalangan PKS, elite-elite PAN sendiri kurang semangat mendukung Dede Yusuf.

Akibatnya, dana yang dikucurkan pun serba pas-pasan, sementara PKS harus single fighter menghidupkan mesin politiknya. Belum lagi adanya ketidaksukaan beberapa kalangan elite politik Muhammadiyah terhadap PKS yang dianggap sebagai ancaman politik. Adapun kelompok-kelompok yang berkepentingan dalam pilkada (interest groups) sebagai penyandang dana kurang tertarik dengan pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf ini dan lebih memfokuskan pada dua pasangan lain yang dianggap lebih prospektif.

Keadaan Pilgub di Sumut tidak terlalu jauh berbeda dengan kondisi di Jabar. Banyaknya peserta pilgub menjadikan pilkada ini semakin kompetitif. Para kandidat merasa memiliki peluang yang sama dan sulit memprediksi potensi dukungan secara jelas.Tentu saja para "penanam modal" di daerah harus ekstrahati-hati dalam menyalurkan dana dan biasanya mencoba mendistribusikannya kepada para kandidat secara merata.

Ini akan berbeda jika pilkada hanya diikuti oleh dua kandidat. Hitung-hitungan menjadi jelas dan kemungkinan menanamkan dana lebih besar menjadi semakin terbuka terutama untuk melakukan pembelian suara melalui money politics. Walaupun Undang-Undang Pemilu membatasi jumlah donasi perseorangan dan lembaga dalam pilkada, tetapi dalam praktiknya tetap saja aliran dana ke kandidat dan timnya susah dikontrol.

Untuk menyiasati peraturan ini, kandidat yang mendapatkan donasi besar dari individu-individu yang memiliki dana tidak terbatas ("fat cats") memecahnya ke donatur-donatur fiktif dan membentuk tim khusus yang tidak secara langsung berkoordinasi dengan tim kampanye resmi.

Tim relawan tidak resmi ini berkoordinasi langsung dengan pemberi dana untuk berkampanye mendukung ataupun melawan kandidat tertentu. Logika dana sangat mendominasi kegiatan kampanye untuk dapat mengalahkan saingan politik. Kampanye hitam (black campaign) alias menjelekjelekkan untuk merusak kredibilitas calon dan partai yang mengusungnya pun tidak dapat dihindari.

Kelebihan dari pilkada dengan banyak peserta adalah penghematan dana bagi para kandidat alternatif, tetapi merugikan partai-partai besar yang memang siap dengan dana yang tidak terbatas. Dalam konteks pendanaan kampanye, belajar dari pilkada Jabar dan Sumut, pandangan elite-elite politik tentang sumber dana seharusnya mengalami perubahan.

Apabila ada partai politik maupun lembaga politik yang menyodorkan proposal dengan nominal fantastis kepada calon kandidat dengan harapan dapat memenangkan pilkada, maka kandidat itu cukup mengatakan, "Go to hell with your proposal!"

Kekuatan Koalisi

Koalisi yang tepat antara partai politik penempatan kandidat yang sesuai dengan harapan masing-masing konstituen menjadi salah satu faktor penting dalam kedua pilgub ini. Kepuasan konstituen dan penerimaan rakyat secara umum paling tidak akan menjamin konsolidasi struktur partai dalam menggerakkan mesin politiknya.

Kandidat yang memiliki tingkat resistensi yang paling rendah akan semakin mudah untuk disosialisasikan kepada calon pemilih. Dengan demikian, kader-kader partai dengan senang hati akan mempromosikan kandidat yang tidak memiliki banyak masalah. Tidak adanya berita miring tentang dua kandidat ini semakin merekatkan kekuatan konstituen. Pasangan Ahmad Heryawan-Dedel Yusuf dan Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho telah mampu menggerakkan kembali militansi kader-kader PKS yang dikenal loyal itu.

Dengan keterbatasan dana yang tersedia, mereka mencoba mengoptimalkan semua potensi kader untuk menyukseskan kandidatnya. Mesin politik berjalan optimal dan kader secara penuh mendukungnya. Karenanya, koalisi menjadi syarat mutlak untuk setiap pilkada. Partai pemenang pemilu 2004 di daerah tertentu misalnya hampir dipastikan akan mengalami kekalahan telak apabila mengusung calon sendiri tanpa mau berkoalisi.

Kegagalan PKS dalam Pilkada DKI tahun lalu maupun gagalnya partai-partai mayoritas dalam beberapa pemilihan bupati dan pemilihan gubernur di daerah-daerah basis mereka telah memberikan sinyal penting bahwa untuk membangun daerah tidak dapat dilakukan oleh satu kekuatan saja. Harus ada sinergi dan kerja sama antara elemen-elemen bangsa yang heterogen.

Pluralitas dan keanekaragaman sosial budaya Indonesia hendaknya menjadi perhatian utama bagi siapa pun yang ingin menjadi pemimpin di Indonesia. Karenanya, figur yang tepat dan diperjuangkan melalui koalisi yang efisien akan memperbesar potensi kemenangan. Apalagi, kalau pasangan itu merupakan alternatif di antara pasangan-pasangan lain yang dianggap tidak lagi mampu memenuhi harapan-harapan pemilih.

Komitmen Berdemokrasi

Pelajaran penting lain dari dua peristiwa politik ini adalah pentingnya mengembangkan kesadaran berdemokrasi.

Kesadaran berdemokrasi tidak sekadar secara fisik mengikuti semua proses teknis memilih calon pemimpin secara langsung, tetapi lebih pada meneguhkan sikap jujur dalam menaati aturan main berdemokrasi (the rule of the game). Pasangan Ahmad Heryawan maupun Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho memiliki dukungan minimal dalam legislatif.

Dapat dipastikan apabila kedua pasangan ini memegang kekuasaan eksekutif bakal menghadapi banyak kendala di parlemen. Minimnya dukungan dari para anggota Dewan akan mengakibatkan tidak berjalannya program-program eksekutif dan nasib rakyat pun kian tak menentu. Menyikapi hasil Pilkada Jabar dan Sumut, sah-sah saja apabila dikembangkan wacana bahwa gubernur dan calon gubernur terpilih tidak didukung oleh mayoritas pemilih karena kenyataannya baik pasangan Hade maupun Syampurno memang mengantongi kurang dari 50 persen suara.

Sederhananya, mereka tidak mewakili suara mayoritas rakyat dan tentunya legitimasi politiknya relatif kecil. Padahal aturan main pilkada menyebutkan bahwa pemenang dengan suara di atas 25 persen dianggap sah. Berikutnya adalah bagaimana para elite-elite politik membangun komitmen dan bekerja sama untuk memenuhi amanat rakyat.

Berpartisipasi dalam proses demokrasi memang sangat mudah, tetapi menjadi demokrat sejati tentu saja butuh kedewasaan politik. Semua ini membutuhkan kejujuran untuk siap kalah maupun menang. Komitmen memegang aturan main adalah esensi dari demokrasi yang seharusnya sudah melekat sebagai bentuk budaya kolektif bangsa Indonesia. (*)

Yon Machmudi, PhD
Senior Expert the Center for Indonesian Reform (CIR) Jakarta,
Dosen FIB UI (//mbs)

Tidak ada komentar: